Bulan April, bulan dimana ketegangan merajangku, seminggu lagi
aku akan melaksanakan Ujian Nasional, tepat tanggal 10. Sebenarnya aku sudah
belajar keras, namun perasaan gugup tetap menemaniku, entah kenapa? Kata guruku
memang itulah perasaan orang yang mau menghadapi UN.
Malam hari ketika
aku sedang berlatih soal-soal UN, laptop-ku berbunyi itu tandanya ada E-mail
masuk, akupun membukanya ternyata dari Kak Kiki, dia mengatakan agar aku
semangat belajar untuk menempuh UN, aku hanya membalasnya dengan mengangguk dan
sedikit senyum tanpa mengetikkan kata untuk mereply mailnya,walaupun sebenarnya
aku rindu. Aku melanjutkan belajar, tak lama HP-ku berbunyi, Niko menelponku
namun aku tak mengangkatnya, aku melanjutkan belajar lagi.
Udara masih segar,
kudengar suara ayam berkokok, itu tandanya menjelang pagi, aku mengambil air
wudhu lalu solat. Setelah solat dan berdo’a, aku mencoba lari pagi untuk
menjaga staminaku menghadapi UN, kebetulan seminggu ini adalah masa penenangan.
Aku menyusuri jalanan sepi dan terus berlari sambil menggerak-gerakan badan.
Setelah kira-kira 3 Km aku berlari, aku melihat Niko dari kejauhan, waktu itu
tepat pukul 8 pagi, dia juga sedang olahraga. Dia mendekatiku menyapa.
“Kita ketemu lagi”
katanya menebar senyum.
“Oh…iya Ko”
“Kamu sudah mau
pulang?”
“Belum”
“Kalau gitu ikut
aku!” dia menarik tangannku dan mengajakku berlari. Akupun tak bisa apa-apa.
Nyatanya dia mengajakku ketaman, aku berhenti di depan taman memegang lututku
dan membungkuk sambil mendengar napasku yang terengah-engah.
“Kamu capek?” Tanya
Niko.
“Iya, banget”
“Tunggu disini”
setelah beberapa saat aku menunggu diapun datang.
“Nih minum” dia
memberiku botolan air mineral.
“Terimakasih” akupun
kembali berdiri dan meminumnya. Dia memandangku dengan tatapan yang berbeda.
“Eh, airnya habis ni” ucapku agar dia mengalihkan pandangan.
“Nggak apa-apa kok,
nanti aku beli lagi. Ngomong-ngomong kita kesana yuk!” ajaknya menunjuk kearah
kursi panjang berwarna putih didalam taman. Taman mengingatkanku pada
perpisahan terakhirku. “Ayok, kenapa bengong?” ucap Niko mengagetkanku.
“Oh iya ayok”
akupun berjalan menuju kursi itu, dan duduk berdampingan dengannya. Aku hanya
duduk sekitar 5 menit, Niko memandangi tanganku yang megusap wajahku dengan
handuk kecil. Sepertinya dia melihat jari-jariku yang tidak memakai cincin
pemberiannya.
“Kenapa kau
melihatku seperti itu?” tanyaku padanya.
“Tidak apa-apa”
ujarnya dengan nada pasrah.
“Aku pulang duluan
ya” ucapku menghindarinya, agar aku tidak ditanya kenapa aku tidak memakai
cincinnya. Dia membalasku dengan anggukan, akupun berlari meninggalkannya.
Sebenarnya aku tidak membuang cincin itu, sayang sekali cincin semahal itu aku
buang. Aku juga tidak berniat menjualnya atau menggadainya, akan tetapi aku
hanya menyimpannya untuk menunggu waktu yang tepat untuk mengembalikannya.
Waktu satu minggu
untuk penenangan berakhir, kembali kupandangi malam penuh bintang dan terangnya
bulan, berdo’a agar besok ketika aku menjawab soal-soal ujian menjadi lancar.
Ketika aku sedang enak-enaknya memandangi langit, Mama memanggilku mengatakan
Niko bertamu, hmmm… sebenarnya nggak mau menemui dia, tapi ini saat yang tepat
untuk mengembalikan cincin nya.
“Hai Cinta” sapanya
dengan rona wajah ceria.
“Tumben kamu kesini
lagi” aku duduk berhadapan.
“Iya, aku sibuk
shooting seminggu ini”
“Oh, begitu ya” dia
mengangguk. “Aku ambilkan minum dulu ya”
“Ya, thank’s
kebetulan juga aku haus” balasnya dengan senyuman lebar. Aku mengambilkan dia
minuman dan dia langsung meminum semuanya.
“Rupanya
benar-benar haus?”
“Iya nih, capek
banget dari Mataram kesini”
“Kamu dari
Mataram?” aku kaget. “Ngapain kamu jauh-jauh kesini, dasar bodoh?!”
“Pengen lihat kamu
aja.” perkataannya membuatku malu, namun aku dengan cepat menyangkalnya.
“Wah, kamu bisa
saja.” ucapku.
“Ngomong-ngomong
besok kamu sudah mulai UN ya? Yang semangat ya Cinta”
“Iya pasti.”
“Kalau begitu aku
pulang dulu ya.” izinnya.
“Tunggu sebentar!”
kataku menahannya. Aku berjalan mengambil cincin itu di laciku, dengan cepat
aku kembali. Aku mendekati Niko, aku memegang pergelangan tangannya dan
meletakkan kotak cincin itu di atas telapak tangannya yang aku tata sehingga
nampak seperti meminta. Lalu aku berbisik padanya.
“Berikan cincin ini
pada seseorang yang lebih pantas, karena membuangnya bukan solusi terbaik, itu
artinya kamu tidak menghargai kerja kerasmu sendiri.” Dia memandangku
tercenung, wajahnya kelihatan sedih. Diapun hilang dari pandangannku.
Ujian Nasional aku
hadapi dengan baik dan lancar. Sekarang aku tinggal menunggu pengumuman. Jangka
waktu pengumuman 3 minggu, aku tak tahu harus mengerjakan apa selama 3 minggu.
Aku hanya duduk di ruang tamu sambil mendengarkan musik pagi itu, tiba-tiba
HP-ku berbunyi.
“Hallo Tisa…”
“Ta, kita kepantai
yuk, bertiga sama Sari!”
“Hmmm… besok aja
selesai pengumuman” usulku.
“Ayolah, kali ini
aja, kita di jemput pakai mobil sari, yaya?”
“Aku prepare dulu.”
Aku akhirnya tak bisa menolak, sebenarnya firasat aku nggak enak, tapi aku malu
sama mereka;teman-temanku. Setelah beberapa menit aku bersiap-siap mobil
Saripun terdengar memasuki halaman rumahku. Akupun keluar menemuinya.
“Gimana Ta, sudah
siap?” ucap sari dari dalam mobilnya. Ternyata kita tidak hanya bertiga, ada
pacar Sari dan Tisa, yaitu Roni dan Indra. Sudah aku duga anak-anak ini memang
licik. Aku tak nyaman berada dalam mobil Sari, walaupun banyak makanan. Roni
menyetir dan Sari duduk disebelahnya, sedangkan Tisa duduk disamping kananku
dan pacarnya;Indra duduk sebelah kanan Tisa. Aku merasa risih memandangi Tisa
dan Indra, mereka tidak memperdulikanku sedikitpun, mereka asyik berbicara
berdua, sedangkan Sari tertidur pulas di perjalanan, Akupun ikut tertidur.
“Ta, kita sudah
sampai.” ucap Sari membangunkanku. Aku hanya diam dan turun dari mobil. Aku
berjalan menuju pinggir pantai. Mereka berempat nyebur ke laut namun aku hanya
memandang saja dan mengambil gambar-gambar yang menarik.
“Ayo kita mandi!”
ajak Tisa, yang berpegangan tangan dengan Indra.
“Eh, nggak deh”
jawabku. Merekapun kembali berenang di laut. Setelah sekitar 2 jam kita disana,
Ronipun mengajak pulang. Aku hanya ikut-ikut saja kemauan mereka. Diperjalanan
aku duduk di tempat biasa, aku melihat Tisa dan Indra berciuman di depanku, apa
yang mereka lakukan. Aku memarahi mereka, mereka benar-benar tak menghargai
kehadiranku.
“Apa yang kalian
lakukan?!”
“Hei Ta, biasa aja
lagi, ini bukan zaman nenek kita” balas Tisa.
“Tapi kalian bisa
tidak menghargaiku sedikit hah?!”
“Ya ampuun Cinta,
kamu diem aja itu urusan mereka.” Sahut Sari.
“Tapi kan Sar,.”
“Sudahlah kalian
jangan ribut!” sahut Roni memotong pembicaraanku dan menghadap belakang. Saat
itu aku melihat truk besar tak terkendali mengambil jalur kita dan.,”Duarr.”
Aku membuka mata,
kulihat Mama,Ayah, dan Adikku. Kulihat ruangan tempatku berbaring berbau
obat-obatan, aku rasa ini rumah sakit ucapku membatin.
“Cinta kamu sudah sadar
Nak?” ucap Mamaku dengan suara sendu.
“Siapa?’’
“Teman-temanku,”
terlihat berat Mamaku menjawabku dan lama, Ayahku hanya diam saja. “Dimana
mereka jawab?!” tanyaku sambil mengeluarkan air mata.
“Mereka…mereka
telah kembali pada sang pencipta.” Aku seketika menangis tersedu-sedu, kenapa
tidak aku juga? Saat itu aku benar-benar tak tahu harus bagaimana. Mereka telah
pergi, padahal dulu kita sudah memiliki rencana kuliah bersama, sukses bersama
dan meraih mimpi bersama.
“Kamu ingin jadi
apa?” ucap Tisa.
“Aku ingin jadi
guru, kalau kamu?”
“Aku ingin jadi
arsitek”
“Kalau aku ingin
jadi dokter.” Sahut Sari.
Percakapan di ruang kelas itu kini menjadi kenangan, aku tak
bisa berbuat apa-apa lagi, mereka telah pergi. Mama menemaniku semalaman,
sementara Ayah dan Adikku pulang menjaga rumah. Malam itu aku tidak bisa tidur,
aku selalu memikirkan mereka;teman-temanku, aku merasa impoten.
Pagipun menjelang,
jam menunjukkan pukul 8 pagi, tubuhku dibersihkan Mama. Luka di kepala, kaki,
dan tanganku terasa sakit sekali, sampai aku mesti di bantu berjalan.
“Assalamualaiqum…”
terdengar suara dari luar ruanganku.
“Wa’alaiqumsalam…”
jawab Mama dan aku. Orang itu masuk membawa buah-buahan.
“Niko” ucapku
setelah melihat ternyata yang datang itu Niko.
“Cinta, bagaimana
keadaanmu?”
“Ya, beginilah, btw
terimakasih kamu mau menjengukku.” Dia hanya tersenyum.
“Cinta, Mama pulang
ya, kamu disini sama Niko, Mama mau urus Ayah dan Adikmu dirumah” ujar Mamaku.
“Baiklah Ma.”
Jawabku. Mama kemudian meninggalkanku bersama Niko di ruangan yang berbau obat
itu.
“Kenapa kau
menjengukku?” ucapku memulai percakapan dengan Niko.
“Itulah gunanya
teman” jawabnya.
“Kau tidak
membenciku?”
“Untuk apa? Aku kan
temanmu.” aku hanya tersenyum mendengar pernyataannya, dia teman yang baik,
walaupun aku belum bisa menerimanya. “Ya, sudahlah, aku membawakanmu bubur
buatan Ibuku” lanjutnya.
“Pasti enak”
ucapku.
“Ya dong, nih” dia
menyuapiku bubur itu, benar memang enak.
“Hmm…enak Ko” dia
begitu perhatian padaku, tapi kenapa tak ada getaran sedikitpun untuknya. Aku
memandangi wajahnya yang kelihatan melindungiku, dia seperti malaikat.
“Bagaimana kalau
selesai makan kita ke taman rumah sakit? untuk menyegarkan otakmu” usulnya.
“Ide yang bagus.”
Niko menuntunku ke taman, dia memegang pundakku dan memegang tanganku.
Sampailah aku di taman, aku duduk di ayunan yang memang sudah tersedia, dia
mengayuniku, sampai rasanya aku sehat kembali, luka di tubuhku tidak terasa.
“Kamu bahagia?”
ucapnya sambil mengayuniku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum lebar. Setelah
lama sekali kita bermain akupun menyuruh Niko mengantarku ke ruangan.
“Ko, aku capek
pengen istirahat.”
“Baiklah tuan
putri.” diapun menuntunku kembali ke ruanganku. Aku berjalan sangat perlahan,
tiba-tiba kurasakan pusing yang sangat menyiksaku, akupun hilang kesadaran.
Setelah beberapa saat, aku menemukan diriku telah berbaring di tempat tidur,
dan melihat wajah Niko yang kelihatan sedih dan khawatir.
“Kamu siuman?” kata
Niko. Aku hanya memegang kepalaku dengan tangan kananku, sedang tangan kiriku
di genggam olehnya.
“Tadi aku pingsan
ya?”
“Iya, kata dokter
otakmu belum terlalu pulih, aku sudah mengajakkmu bermain, maafkan aku ya”
“Tidak apa-apa,
sekarang kan aku baik-baik saja” aku tersenyum padanya, dia membalas senyumku.
Niko memang baik sekali padaku melihat wajahnya yang impoten karenaku, membuatku
ingin mengatakan aku juga menyayanginya, namun hatiku masih terasa berat. Aku
melewati hari itu bersamanya, dengan hati gembira walaupun sedikit malu dengan
kebaikannya.
Malam tiba, Niko
masih setia menemaniku, Mama tak jua kembali, aku ingin menelponnya namun aku
lupa HP-ku hancur saat kecelakaan itu. Terpaksa aku harus meminjam di Niko.
“Boleh aku pinjam
HP-mu?”
“Boleh, pakai
saja.” Aku menelpon Mama.
“Hallo Ma…” ucapku.
“Ya sayang, ada
apa?”
“Mama kok nggak
kesini?”
“Sebenarnya Mama
tadi pernah kesana, tapi Mama nggak masuk kelihatannya kamu sudah nyaman
didekat Niko.”
“Hmmm, Mama”
“Yasudah Mama mau
tidur, good night sayang…” kata terakhir Mama sebelum menutup telepon. Akupun
mengembalikan HP Niko dan bertanya padanya.
“Kamu tidak lelah?”
“Aku akan
menemanimu sampai sembuh total.”
“Kenapa?”
“Aku sakit
melihatmu seperti ini, tentunya setiap orang ingin sehat, makanya aku
menjagamu.”
“Apakah aku adalah
dirimu?” Dia terdiam, keliahatan tak tahu harus menjawab apa. Aku melanjutkan.“Aku
ngantuk, hoooammm…”
“Yasudah kamu tidur
saja!” dia menarik selimut untukku dan dia tidur di atas kursi dengan kepalanya
berada di samping pinggangku. Pagi menjelang kata dokter aku sudah boleh
pulang, Niko mengemasi baju-bajuku, kenapa dia mau mengurusiku sampai sejauh
ini? Tanyaku dalam hati. Niko menuntunku sampai depan rumah sakit, kebetulan
mobil Ayah dan Mamaku sudah menunggu, akupun naik aku duduk di belakang dan
Niko duduk di sampingku. Sesampai dirumah aku kembali ke kamar dan Niko
meletakkan pakaianku di dekat meja belajarku.
“Kamu istirahat
yang banyak ya!” nasehat Niko.
“Iya, terimakasih!”
Niko berbalik untuk meninggalkanku, namun aku menahannya.“Tunggu, sekali lagi
terimakasih.” Rona wajahnya memudar.
“Maafkan
aku, aku tak bisa menahannya, aku tak bisa melihatmu tak berdaya seperti ini,
hatiku tersayat. Aku merasa kau adalah aku, ambillah ini.” Dia memberikan
HP-nya, dia menangis dan pergi meninggalkanku, aku ingin mengejarnya namun
langkahku terhalang sakitnya kakiku. Tanpa kusadari akupun meneteskan air mata,
aku seperti merasakan sakit yang dia idap, aku juga merasa dia adalah aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar