Source: http://www.amronbadriza.com/2012/10/cara-membuat-anti-copy-paste-di-blog.html#ixzz2FTRb0UOK
SILAHKAN DI BACA JANGAN JADI PLAGIAT OKE :) SILAHKAN DI SHARE LINKNYA :)

Minggu, 02 Desember 2012

Kakak Kelas (Part IV)


     Bulan April, bulan dimana ketegangan merajangku, seminggu lagi aku akan melaksanakan Ujian Nasional, tepat tanggal 10. Sebenarnya aku sudah belajar keras, namun perasaan gugup tetap menemaniku, entah kenapa? Kata guruku memang itulah perasaan orang yang mau menghadapi UN.
     Malam hari ketika aku sedang berlatih soal-soal UN, laptop-ku berbunyi itu tandanya ada E-mail masuk, akupun membukanya ternyata dari Kak Kiki, dia mengatakan agar aku semangat belajar untuk menempuh UN, aku hanya membalasnya dengan mengangguk dan sedikit senyum tanpa mengetikkan kata untuk mereply mailnya,walaupun sebenarnya aku rindu. Aku melanjutkan belajar, tak lama HP-ku berbunyi, Niko menelponku namun aku tak mengangkatnya, aku melanjutkan belajar lagi.
     Udara masih segar, kudengar suara ayam berkokok, itu tandanya menjelang pagi, aku mengambil air wudhu lalu solat. Setelah solat dan berdo’a, aku mencoba lari pagi untuk menjaga staminaku menghadapi UN, kebetulan seminggu ini adalah masa penenangan. Aku menyusuri jalanan sepi dan terus berlari sambil menggerak-gerakan badan. Setelah kira-kira 3 Km aku berlari, aku melihat Niko dari kejauhan, waktu itu tepat pukul 8 pagi, dia juga sedang olahraga. Dia mendekatiku menyapa.
     “Kita ketemu lagi” katanya menebar senyum.
     “Oh…iya Ko”
     “Kamu sudah mau pulang?”
     “Belum”
     “Kalau gitu ikut aku!” dia menarik tangannku dan mengajakku berlari. Akupun tak bisa apa-apa. Nyatanya dia mengajakku ketaman, aku berhenti di depan taman memegang lututku dan membungkuk sambil mendengar napasku yang terengah-engah.
     “Kamu capek?” Tanya Niko.
     “Iya, banget”
     “Tunggu disini” setelah beberapa saat aku menunggu diapun datang.
     “Nih minum” dia memberiku botolan air mineral.
     “Terimakasih” akupun kembali berdiri dan meminumnya. Dia memandangku dengan tatapan yang berbeda. “Eh, airnya habis ni” ucapku agar dia mengalihkan pandangan.
     “Nggak apa-apa kok, nanti aku beli lagi. Ngomong-ngomong kita kesana yuk!” ajaknya menunjuk kearah kursi panjang berwarna putih didalam taman. Taman mengingatkanku pada perpisahan terakhirku. “Ayok, kenapa bengong?” ucap Niko mengagetkanku.
     “Oh iya ayok” akupun berjalan menuju kursi itu, dan duduk berdampingan dengannya. Aku hanya duduk sekitar 5 menit, Niko memandangi tanganku yang megusap wajahku dengan handuk kecil. Sepertinya dia melihat jari-jariku yang tidak memakai cincin pemberiannya.
     “Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanyaku padanya.
     “Tidak apa-apa” ujarnya dengan nada pasrah.
     “Aku pulang duluan ya” ucapku menghindarinya, agar aku tidak ditanya kenapa aku tidak memakai cincinnya. Dia membalasku dengan anggukan, akupun berlari meninggalkannya. Sebenarnya aku tidak membuang cincin itu, sayang sekali cincin semahal itu aku buang. Aku juga tidak berniat menjualnya atau menggadainya, akan tetapi aku hanya menyimpannya untuk menunggu waktu yang tepat untuk mengembalikannya.
     Waktu satu minggu untuk penenangan berakhir, kembali kupandangi malam penuh bintang dan terangnya bulan, berdo’a agar besok ketika aku menjawab soal-soal ujian menjadi lancar. Ketika aku sedang enak-enaknya memandangi langit, Mama memanggilku mengatakan Niko bertamu, hmmm… sebenarnya nggak mau menemui dia, tapi ini saat yang tepat untuk mengembalikan cincin nya.
     “Hai Cinta” sapanya dengan rona wajah ceria.
     “Tumben kamu kesini lagi” aku duduk berhadapan.
     “Iya, aku sibuk shooting seminggu ini”
     “Oh, begitu ya” dia mengangguk. “Aku ambilkan minum dulu ya”
     “Ya, thank’s kebetulan juga aku haus” balasnya dengan senyuman lebar. Aku mengambilkan dia minuman dan dia langsung meminum semuanya.
     “Rupanya benar-benar haus?”
     “Iya nih, capek banget dari Mataram kesini”
     “Kamu dari Mataram?” aku kaget. “Ngapain kamu jauh-jauh kesini, dasar bodoh?!”
     “Pengen lihat kamu aja.” perkataannya membuatku malu, namun aku dengan cepat menyangkalnya.
     “Wah, kamu bisa saja.” ucapku.
     “Ngomong-ngomong besok kamu sudah mulai UN ya? Yang semangat ya Cinta”
     “Iya pasti.”
     “Kalau begitu aku pulang dulu ya.” izinnya.
     “Tunggu sebentar!” kataku menahannya. Aku berjalan mengambil cincin itu di laciku, dengan cepat aku kembali. Aku mendekati Niko, aku memegang pergelangan tangannya dan meletakkan kotak cincin itu di atas telapak tangannya yang aku tata sehingga nampak seperti meminta. Lalu aku berbisik padanya.
     “Berikan cincin ini pada seseorang yang lebih pantas, karena membuangnya bukan solusi terbaik, itu artinya kamu tidak menghargai kerja kerasmu sendiri.” Dia memandangku tercenung, wajahnya kelihatan sedih. Diapun hilang dari pandangannku.
     Ujian Nasional aku hadapi dengan baik dan lancar. Sekarang aku tinggal menunggu pengumuman. Jangka waktu pengumuman 3 minggu, aku tak tahu harus mengerjakan apa selama 3 minggu. Aku hanya duduk di ruang tamu sambil mendengarkan musik pagi itu, tiba-tiba HP-ku berbunyi.
     “Hallo Tisa…”
     “Ta, kita kepantai yuk, bertiga sama Sari!”
     “Hmmm… besok aja selesai pengumuman” usulku.
     “Ayolah, kali ini aja, kita di jemput pakai mobil sari, yaya?”
     “Aku prepare dulu.” Aku akhirnya tak bisa menolak, sebenarnya firasat aku nggak enak, tapi aku malu sama mereka;teman-temanku. Setelah beberapa menit aku bersiap-siap mobil Saripun terdengar memasuki halaman rumahku. Akupun keluar menemuinya.
     “Gimana Ta, sudah siap?” ucap sari dari dalam mobilnya. Ternyata kita tidak hanya bertiga, ada pacar Sari dan Tisa, yaitu Roni dan Indra. Sudah aku duga anak-anak ini memang licik. Aku tak nyaman berada dalam mobil Sari, walaupun banyak makanan. Roni menyetir dan Sari duduk disebelahnya, sedangkan Tisa duduk disamping kananku dan pacarnya;Indra duduk sebelah kanan Tisa. Aku merasa risih memandangi Tisa dan Indra, mereka tidak memperdulikanku sedikitpun, mereka asyik berbicara berdua, sedangkan Sari tertidur pulas di perjalanan, Akupun ikut tertidur.
     “Ta, kita sudah sampai.” ucap Sari membangunkanku. Aku hanya diam dan turun dari mobil. Aku berjalan menuju pinggir pantai. Mereka berempat nyebur ke laut namun aku hanya memandang saja dan mengambil gambar-gambar yang menarik.
     “Ayo kita mandi!” ajak Tisa, yang berpegangan tangan dengan Indra.
     “Eh, nggak deh” jawabku. Merekapun kembali berenang di laut. Setelah sekitar 2 jam kita disana, Ronipun mengajak pulang. Aku hanya ikut-ikut saja kemauan mereka. Diperjalanan aku duduk di tempat biasa, aku melihat Tisa dan Indra berciuman di depanku, apa yang mereka lakukan. Aku memarahi mereka, mereka benar-benar tak menghargai kehadiranku.
     “Apa yang kalian lakukan?!”
     “Hei Ta, biasa aja lagi, ini bukan zaman nenek kita” balas Tisa.
     “Tapi kalian bisa tidak menghargaiku sedikit hah?!”
     “Ya ampuun Cinta, kamu diem aja itu urusan mereka.” Sahut Sari.
     “Tapi kan Sar,.”
     “Sudahlah kalian jangan ribut!” sahut Roni memotong pembicaraanku dan menghadap belakang. Saat itu aku melihat truk besar tak terkendali mengambil jalur kita dan.,”Duarr.”
     Aku membuka mata, kulihat Mama,Ayah, dan Adikku. Kulihat ruangan tempatku berbaring berbau obat-obatan, aku rasa ini rumah sakit ucapku membatin.
     “Cinta kamu sudah sadar Nak?” ucap Mamaku dengan suara sendu.
     “Mereka dimana?”
     “Siapa?’’
     “Teman-temanku,” terlihat berat Mamaku menjawabku dan lama, Ayahku hanya diam saja. “Dimana mereka jawab?!” tanyaku sambil mengeluarkan air mata.
     “Mereka…mereka telah kembali pada sang pencipta.” Aku seketika menangis tersedu-sedu, kenapa tidak aku juga? Saat itu aku benar-benar tak tahu harus bagaimana. Mereka telah pergi, padahal dulu kita sudah memiliki rencana kuliah bersama, sukses bersama dan meraih mimpi bersama.
     “Kamu ingin jadi apa?” ucap Tisa.
     “Aku ingin jadi guru, kalau kamu?”
     “Aku ingin jadi arsitek”
    “Kalau aku ingin jadi dokter.” Sahut Sari.
Percakapan di ruang kelas itu kini menjadi kenangan, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, mereka telah pergi. Mama menemaniku semalaman, sementara Ayah dan Adikku pulang menjaga rumah. Malam itu aku tidak bisa tidur, aku selalu memikirkan mereka;teman-temanku, aku merasa impoten.
     Pagipun menjelang, jam menunjukkan pukul 8 pagi, tubuhku dibersihkan Mama. Luka di kepala, kaki, dan tanganku terasa sakit sekali, sampai aku mesti di bantu berjalan.
     “Assalamualaiqum…” terdengar suara dari luar ruanganku.
     “Wa’alaiqumsalam…” jawab Mama dan aku. Orang itu masuk membawa buah-buahan.
     “Niko” ucapku setelah melihat ternyata yang datang itu Niko.
     “Cinta, bagaimana keadaanmu?”
     “Ya, beginilah, btw terimakasih kamu mau menjengukku.” Dia hanya tersenyum.
     “Cinta, Mama pulang ya, kamu disini sama Niko, Mama mau urus Ayah dan Adikmu dirumah” ujar Mamaku.
     “Baiklah Ma.” Jawabku. Mama kemudian meninggalkanku bersama Niko di ruangan yang berbau obat itu.
     “Kenapa kau menjengukku?” ucapku memulai percakapan dengan Niko.
     “Itulah gunanya teman” jawabnya.
     “Kau tidak membenciku?”
     “Untuk apa? Aku kan temanmu.” aku hanya tersenyum mendengar pernyataannya, dia teman yang baik, walaupun aku belum bisa menerimanya. “Ya, sudahlah, aku membawakanmu bubur buatan Ibuku” lanjutnya.
     “Pasti enak” ucapku.
     “Ya dong, nih” dia menyuapiku bubur itu, benar memang enak.
     “Hmm…enak Ko” dia begitu perhatian padaku, tapi kenapa tak ada getaran sedikitpun untuknya. Aku memandangi wajahnya yang kelihatan melindungiku, dia seperti malaikat.
     “Bagaimana kalau selesai makan kita ke taman rumah sakit? untuk menyegarkan otakmu” usulnya.
     “Ide yang bagus.” Niko menuntunku ke taman, dia memegang pundakku dan memegang tanganku. Sampailah aku di taman, aku duduk di ayunan yang memang sudah tersedia, dia mengayuniku, sampai rasanya aku sehat kembali, luka di tubuhku tidak terasa.
     “Kamu bahagia?” ucapnya sambil mengayuniku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum lebar. Setelah lama sekali kita bermain akupun menyuruh Niko mengantarku ke ruangan.
     “Ko, aku capek pengen istirahat.”
     “Baiklah tuan putri.” diapun menuntunku kembali ke ruanganku. Aku berjalan sangat perlahan, tiba-tiba kurasakan pusing yang sangat menyiksaku, akupun hilang kesadaran. Setelah beberapa saat, aku menemukan diriku telah berbaring di tempat tidur, dan melihat wajah Niko yang kelihatan sedih dan khawatir.
     “Kamu siuman?” kata Niko. Aku hanya memegang kepalaku dengan tangan kananku, sedang tangan kiriku di genggam olehnya.
     “Tadi aku pingsan ya?”
     “Iya, kata dokter otakmu belum terlalu pulih, aku sudah mengajakkmu bermain, maafkan aku ya”
     “Tidak apa-apa, sekarang kan aku baik-baik saja” aku tersenyum padanya, dia membalas senyumku. Niko memang baik sekali padaku melihat wajahnya yang impoten karenaku, membuatku ingin mengatakan aku juga menyayanginya, namun hatiku masih terasa berat. Aku melewati hari itu bersamanya, dengan hati gembira walaupun sedikit malu dengan kebaikannya.
     Malam tiba, Niko masih setia menemaniku, Mama tak jua kembali, aku ingin menelponnya namun aku lupa HP-ku hancur saat kecelakaan itu. Terpaksa aku harus meminjam di Niko.
     “Boleh aku pinjam HP-mu?”
     “Boleh, pakai saja.” Aku menelpon Mama.
     “Hallo Ma…” ucapku.
     “Ya sayang, ada apa?”
     “Mama kok nggak kesini?”
     “Sebenarnya Mama tadi pernah kesana, tapi Mama nggak masuk kelihatannya kamu sudah nyaman didekat Niko.”
     “Hmmm, Mama”
     “Yasudah Mama mau tidur, good night sayang…” kata terakhir Mama sebelum menutup telepon. Akupun mengembalikan HP Niko dan bertanya padanya.
     “Kamu tidak lelah?”
     “Aku akan menemanimu sampai sembuh total.”
     “Kenapa?”
     “Aku sakit melihatmu seperti ini, tentunya setiap orang ingin sehat, makanya aku menjagamu.”
     “Apakah aku adalah dirimu?” Dia terdiam, keliahatan tak tahu harus menjawab apa. Aku melanjutkan.“Aku ngantuk, hoooammm…”
     “Yasudah kamu tidur saja!” dia menarik selimut untukku dan dia tidur di atas kursi dengan kepalanya berada di samping pinggangku. Pagi menjelang kata dokter aku sudah boleh pulang, Niko mengemasi baju-bajuku, kenapa dia mau mengurusiku sampai sejauh ini? Tanyaku dalam hati. Niko menuntunku sampai depan rumah sakit, kebetulan mobil Ayah dan Mamaku sudah menunggu, akupun naik aku duduk di belakang dan Niko duduk di sampingku. Sesampai dirumah aku kembali ke kamar dan Niko meletakkan pakaianku di dekat meja belajarku.
     “Kamu istirahat yang banyak ya!” nasehat Niko.
     “Iya, terimakasih!” Niko berbalik untuk meninggalkanku, namun aku menahannya.“Tunggu, sekali lagi terimakasih.” Rona wajahnya memudar.
     “Maafkan aku, aku tak bisa menahannya, aku tak bisa melihatmu tak berdaya seperti ini, hatiku tersayat. Aku merasa kau adalah aku, ambillah ini.” Dia memberikan HP-nya, dia menangis dan pergi meninggalkanku, aku ingin mengejarnya namun langkahku terhalang sakitnya kakiku. Tanpa kusadari akupun meneteskan air mata, aku seperti merasakan sakit yang dia idap, aku juga merasa dia adalah aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar