Source: http://www.amronbadriza.com/2012/10/cara-membuat-anti-copy-paste-di-blog.html#ixzz2FTRb0UOK
SILAHKAN DI BACA JANGAN JADI PLAGIAT OKE :) SILAHKAN DI SHARE LINKNYA :)

Selasa, 04 Desember 2012

Pria Pembunuh Rasa Skeptis


     Kulihat nasibku berjalan di atas kejamnya takdir, aku kembali menatap masa lalu yang kelam, dimana orang yang aku ikat kuat di hatiku, pergi bersama wanita lain, bersama wanita yang lebih bisa menyegarkan matanya. Dulu mantan suamiku pernah berkata. “Sebenarnya kamu wanita sungguhan atau wanita jadi-jadian?” awalnya aku tak mengerti maksud perkataannya, aku sempat menanyakan arti perkataannya itu, lalu dia menjawab. “Kenapa kau tak suka dandan? seharusnya kau harus tampil cantik didepan suamimu.” Lalu aku bertanya padanya untuk apa dia menikahiku kalau memang tak bisa menerimaku apa adanya? terang saja aku memarahinya, menurutku penampilan tidaklah penting, yang paling penting bagaimana kita menjadi wanita sesungguhnya dalam arti kelembutan dan ketulusan hati. Dia;mantan suamiku sedikitpun tak memikirkan meaning kata yang keluar dari mulutku, dia tetap pada pendiriannya untuk menceraikanku. Awalnya aku sangat sedih dengan keputusannya itu, namun aku tak terpuruk terlalu lama, pikirku untuk apa memikirkan pria yang jelas-jelas menganggap kita bunga layu yang telah habis masa tumbuh kembang.
     Kususuri jalan beraspal sendirian, memandangi jalanan dengan kendaraan yang berlalu lalang, membawa tas berisi pakaianku, aku tak tahu harus tinggal dimana, aku malu harus kembali kerumah orangtuaku setelah di usir dari rumah suamiku. Kurasakan tenggorokanku mulai mengering, ingin sekali mengalirkan air kedalamnya, namun aku hanya mampu menahannya sampai ada orang yang ikhlas memberiku secara cuma-cuma. Hari begitu panasnya siang itu, aku beristirahat di bawah pohon rindang di pinggir jalan sambil mengipas-ngipas wajahku dengan tanganku sendiri. UANG! Uang jatuh ke kakiku yang sedang bersila itu, sepatu coklat, memakai celana jeans, jaket keren berwarna putih, berkacamata dan model rambutnya yang sedikit berponi.
     “Hei?!” ucapku pada pria itu. Lalu dia menoleh dan mengangkat dagunya, akupun berdiri.
     “Ya?” dia membuka kacamata hitamnya.
     “Aku tidak membutuhkan uangmu.” Gumamku menjulurkan uangnya.
     “Kenapa? Kau kelihatan seperti pengemis.” Dasar pria sombong, seenaknya bicara.
     “Apa?! Sembarangan saja.”
     “Ambilah! Menurutku itu cukup untuk kamu makan.” Ucapnya berbalik badan, darahku terasa naik seketika, aku mengejarnya dan menarik rambutnya dari belakang.
     “Hei, apa yang kau lakukan?!”
     “Bodoh, aku tak membutuhkan uangmu, apa kau dengar hah?!” pekikku di dekat telinganya. Wajanya mulai kelihatan ganas dan meringis, tapi aku tak memperdulikannya, pria sombong sepertinya pantas diperlakukan seperti itu.
     “Yasudah, kamu wanita rumit sekali, sini uangku.” Dia mengambil uangnya. Perutku mulai bernyanyi, aku rasa aku membutuhkannya.
     “Tunggu!” dia menghentikan langkah. “Maafkan aku,”
     “Heh! Kau baru sadar ya, tindakanmu memalukan dirimu sendiri.” Ucapnya dengan wajah bangga, seandainya aku tidak dalam keadaan begini aku tak mau memohon padanya.
     “Maafkan aku, sepertinya aku membutuhkannya.” Dia mengangkat ujung bibirnya ke satu sisi, dia menilik penampilanku dari atas sampai bawah, dia melihat tas ku yang masih tertinggal di bawah pohon. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.
     “Tapi aku punya syarat.”
     “Katakanlah!”
     “Ambil tas mu!” aku curiga. Aku mengambil tas ku. ”Cepatlah masuk ke mobil!”
     “Mau apa kau?”
     “Ikut saja!” tak ada pilihan lain, akupun memasuki mobil berwarna hitam miliknya. Aku tak tahu dia mengajakku kemana, sampai aku tiba di sebuah rumah besar.
     “Turun!” ucapnya membukakan pintu mobil. Akupun turun dan ikut memasuki rumah besar itu. ”Duduk!” ucapnya, aku hanya mengangguk pelan. Rumah itu mewah sekali, aku memandangi setiap sudutnya. “Makanlah!” pria sombong itu menyiapkan makanan untukku dan duduk di hadapanku, di halangi sebuah meja. Aku makan dengan lahap, belum selesai aku makan dia membuatku tersedak dengan ucapannya. ”Jadilah pelayanku.”
     “Apa kau bilang?! Tidak, lebih baik aku pergi.” Aku mengambil tasku dan buru-buru pergi dari tempat itu. Namun dia menghentikan langkahku.
     “Kau mau pergi kemana? Kau tidak punya rumah kan, kau hanya akan membersihkan rumahku, masak dan menjaganya saat aku di kantor, ini adalah penawaran menarik, aku tidak akan menawarkanmu dua kali.” Aku memikirkan perkataannya, aku juga tidak punya pilihan lain, akupun mengangguk, menandakan aku menerima tawarannya.
     Dia sungguh merepotkanku, setiap pagi aku harus merapikan kamarnya, menyapu, mengepel, memasak, dan menyetrika baju untuknya. Kadang dia membentakku, kadang suaranya begitu lembut, di pria aneh, memiliki arogansi tinggi. Terima atau tidak aku memang harus berada disini, seandainya ada pilihan lain, aku tidak akan menerima tawaran busuknya itu.
     Pernah suatu pagi aku membereskan kamarnya, kulihat gambar yang di bingkai di atas mejanya, sepertinya itu pacarnya. Tiba-tiba ketika aku berbalik dia berada di belakangku, “Apa yang sedang kau lihat?” tanyanya, namun aku hanya menggelengkan kepala. Ketika aku akan keluar dari kamarnya aku menabraknya yang saat itu hanya mengenakan handuk di bagian bawah;setengah telanjang dan menyebabkan handuk yang dia kenakan jatuh ke lantai, dan apa jadinya, mukanya memerah akupun berteriak dan dengan cepat keluar dari kamarnya, memalukan. Tapi lucu melihat wajahnya yang kebingungan.
     Dia selalu memerintahku seenaknya, tapi kadang sepulang kerja dia membelikanku es krim, aku tak tahu watak sebenarnya orang ini, namun aku tak ada gunanya juga memikirkan hal kurang penting ini.
     Suatu hari dia mengajakku shopping, dia menyuruhku membawa belanjaannya, belanjaannya cukup banyak, dan melelahkanku, namun aku harus bersabar sampai dia membayar upahku, walau sebenarnya hatiku sudah menggerutu.
     Perjalanan bersamanya begitu membuatku ingin tidur lelap sekali, aku berbaring di kamar dan melihat langit-langit kamar itu. Baru saja kesadaranku akan hilang, tiba-tiba dia mengetuk pintu kamarku, aku gusar sekali, tidak bisakah dia membiarkanku istirahat sebentar.
     “Ada apa Tuan?” ucapku dengan nada mengantuk.
     “Jangan memanggilku Tuan lagi, aku mulai tidak suka mendengarnya, panggil saja aku Yobi.”
     “Baik Tuan, ehh Yobi…”
     “Ambilah ini!” dia menyodorkanku  sebuah kotak persegi yang ukurannya tidak terlalu besar.
     “Apa ini?”
     “Aku ingin kau menemaniku ke pesta temanku nanti jam 8 malam.” Dia pergi begitu saja, tanpa memberiku penjelasan lebih detail tentang ajakannya yang mendadak itu. Aku kembali berbaring di kasur dan meletakkan kotak itu di atas meja. Namun sepertinya aku tidak bisa tidur, mataku tertuju pada kotak itu dan tanganku sudah mulai menarik-narik badanku mengajakku membukanya. Akupun membukanya, warna biru muda campur putih, gaun ini sangat cantik. Tapi untuk apa dia memberiku gaun semahal dan semewah ini? Apa jangan-jangan dia memotong gajiku, pikirku bodoh. Aku memasukkan gaun itu kembali ke kotaknya.
     “Apa kau sudah siap?” pekiknya dari luar kamarku. Aku membukakan pintu untuknya. Dia terkejut. “Hei, kenapa kau belum memakai gaun itu?!”
     “Apa kau memberinya ikhlas? Atau kau memotong gajiku untuk membelinya?”
     “Ceh! Tentu saja bodoh.”
     “Kalau begitu aku tidak mau memakainya.” Ujarku sambil menyodorkan kotak itu di depan matanya.
     “Cepat pakai! Atau aku benar-benar akan memotong gajimu.”
     “Jadi…”
     “Cepatlah?!”
     “Baik-baik, thanks.” Aku akhirnya mengenakan gaun itu, namun seperti biasa aku tak suka dandan, buat apa juga dia bukan orang istimewa.
     “Penampilanmu tak menggugah.”
     “Apa maksudmu?!”dia hanya terdiam dan melajukan mobil dengan cepat. Sesampai di pesta temannya aku di abaikan, aku dengar temannya berbisik padanya. “Dia pacarmu?” sambil menatap ke arahku, jelas saja dia mengatakan tidak, dan mengatakan bahwa aku hanya pembatunya. Sialan.
     Perjalanan pulang dari pesta, itu sudah pukul 11 malam, suasana malam terasa, suasana yang dingin menusuk tulang. Aku menyilangkan tanganku di dada untuk mengurangi rasa dingin itu. Yobi tak memperhatikanku sedikitpun dasar pria tak berperasaan. Bahkan ketika aku sampai rumah dia langsung masuk ke kamarnya dan menyuruhku mengunci semua pintu rumah. Tiba-tiba listrik padam. “Aaaaaaa…” aku berteriak karena takut, aku kembali ke kamarku dan langsung menutup diri dengan selimut. Tiba-tiba kudengar ketukan pintu, aku tak berani membukanya, tapi tiba-tiba saja pintunya terbuka, aku tak menguncinya.
     “Siapa itu?” tanyaku gemetaran.
     “Ini aku Yobi, memangnya tak ada lilin? Sampai-sampai kau berteriak sekeras itu.” suara petir dan kilat menyala-nyala di luar jendela.
     “Tidak ada.” Aku menyalakan HP-ku untuk memberi sedikit penerangan. Kulihat dia melangkah mendekatiku. Sementara hujan mulai membisingkan kerena derasnya.
     “Kau kelihatan ketakutan?” tanyanya dengan nada berbisik. Suara petir menggelegar, membuatku terkejut, di bawah kata sadar akupun memeluknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar