Kulihat nasibku berjalan di atas
kejamnya takdir, aku kembali menatap masa lalu yang kelam, dimana orang yang
aku ikat kuat di hatiku, pergi bersama wanita lain, bersama wanita yang lebih
bisa menyegarkan matanya. Dulu mantan suamiku pernah berkata. “Sebenarnya kamu
wanita sungguhan atau wanita jadi-jadian?” awalnya aku tak mengerti maksud
perkataannya, aku sempat menanyakan arti perkataannya itu, lalu dia menjawab.
“Kenapa kau tak suka dandan? seharusnya kau harus tampil cantik didepan
suamimu.” Lalu aku bertanya padanya untuk apa dia menikahiku kalau memang tak
bisa menerimaku apa adanya? terang saja aku memarahinya, menurutku penampilan
tidaklah penting, yang paling penting bagaimana kita menjadi wanita
sesungguhnya dalam arti kelembutan dan ketulusan hati. Dia;mantan suamiku
sedikitpun tak memikirkan meaning kata yang keluar dari mulutku, dia
tetap pada pendiriannya untuk menceraikanku. Awalnya aku sangat sedih dengan
keputusannya itu, namun aku tak terpuruk terlalu lama, pikirku untuk apa
memikirkan pria yang jelas-jelas menganggap kita bunga layu yang telah habis
masa tumbuh kembang.
Kususuri jalan beraspal sendirian, memandangi jalanan dengan kendaraan
yang berlalu lalang, membawa tas berisi pakaianku, aku tak tahu harus tinggal
dimana, aku malu harus kembali kerumah orangtuaku setelah di usir dari rumah
suamiku. Kurasakan tenggorokanku mulai mengering, ingin sekali mengalirkan air
kedalamnya, namun aku hanya mampu menahannya sampai ada orang yang ikhlas
memberiku secara cuma-cuma. Hari begitu panasnya siang itu, aku beristirahat di
bawah pohon rindang di pinggir jalan sambil mengipas-ngipas wajahku dengan
tanganku sendiri. UANG! Uang jatuh ke kakiku yang sedang bersila itu, sepatu
coklat, memakai celana jeans, jaket keren berwarna putih, berkacamata dan model
rambutnya yang sedikit berponi.
“Hei?!” ucapku pada pria itu. Lalu dia menoleh dan mengangkat dagunya,
akupun berdiri.
“Ya?” dia membuka kacamata hitamnya.
“Aku tidak membutuhkan uangmu.” Gumamku menjulurkan uangnya.
“Kenapa? Kau kelihatan seperti pengemis.” Dasar pria sombong, seenaknya
bicara.
“Apa?! Sembarangan saja.”
“Ambilah! Menurutku itu cukup untuk kamu makan.” Ucapnya berbalik badan,
darahku terasa naik seketika, aku mengejarnya dan menarik rambutnya dari
belakang.
“Hei, apa yang kau lakukan?!”
“Bodoh, aku tak membutuhkan uangmu, apa kau dengar hah?!” pekikku di
dekat telinganya. Wajanya mulai kelihatan ganas dan meringis, tapi aku tak
memperdulikannya, pria sombong sepertinya pantas diperlakukan seperti itu.
“Yasudah, kamu wanita rumit sekali, sini uangku.” Dia mengambil uangnya.
Perutku mulai bernyanyi, aku rasa aku membutuhkannya.
“Tunggu!” dia menghentikan langkah. “Maafkan aku,”
“Heh! Kau baru sadar ya, tindakanmu memalukan dirimu sendiri.” Ucapnya
dengan wajah bangga, seandainya aku tidak dalam keadaan begini aku tak mau
memohon padanya.
“Maafkan aku, sepertinya aku membutuhkannya.” Dia mengangkat ujung
bibirnya ke satu sisi, dia menilik penampilanku dari atas sampai bawah, dia
melihat tas ku yang masih tertinggal di bawah pohon. Sepertinya dia sedang
memikirkan sesuatu.
“Tapi aku punya syarat.”
“Katakanlah!”
“Ambil tas mu!” aku curiga. Aku mengambil tas ku. ”Cepatlah masuk ke
mobil!”
“Mau apa kau?”
“Ikut saja!” tak ada pilihan lain, akupun memasuki mobil berwarna hitam
miliknya. Aku tak tahu dia mengajakku kemana, sampai aku tiba di sebuah rumah
besar.
“Turun!” ucapnya membukakan pintu mobil. Akupun turun dan ikut memasuki
rumah besar itu. ”Duduk!” ucapnya, aku hanya mengangguk pelan. Rumah itu mewah
sekali, aku memandangi setiap sudutnya. “Makanlah!” pria sombong itu menyiapkan
makanan untukku dan duduk di hadapanku, di halangi sebuah meja. Aku makan
dengan lahap, belum selesai aku makan dia membuatku tersedak dengan ucapannya. ”Jadilah
pelayanku.”
“Apa kau bilang?! Tidak, lebih baik aku pergi.” Aku mengambil tasku dan
buru-buru pergi dari tempat itu. Namun dia menghentikan langkahku.
“Kau mau pergi kemana? Kau tidak punya rumah kan, kau hanya akan
membersihkan rumahku, masak dan menjaganya saat aku di kantor, ini adalah
penawaran menarik, aku tidak akan menawarkanmu dua kali.” Aku memikirkan
perkataannya, aku juga tidak punya pilihan lain, akupun mengangguk, menandakan
aku menerima tawarannya.
Dia sungguh merepotkanku, setiap pagi aku harus merapikan kamarnya,
menyapu, mengepel, memasak, dan menyetrika baju untuknya. Kadang dia
membentakku, kadang suaranya begitu lembut, di pria aneh, memiliki arogansi
tinggi. Terima atau tidak aku memang harus berada disini, seandainya ada
pilihan lain, aku tidak akan menerima tawaran busuknya itu.
Pernah suatu pagi aku membereskan kamarnya, kulihat gambar yang di
bingkai di atas mejanya, sepertinya itu pacarnya. Tiba-tiba ketika aku berbalik
dia berada di belakangku, “Apa yang sedang kau lihat?” tanyanya, namun aku
hanya menggelengkan kepala. Ketika aku akan keluar dari kamarnya aku
menabraknya yang saat itu hanya mengenakan handuk di bagian bawah;setengah
telanjang dan menyebabkan handuk yang dia kenakan jatuh ke lantai, dan apa
jadinya, mukanya memerah akupun berteriak dan dengan cepat keluar dari
kamarnya, memalukan. Tapi lucu melihat wajahnya yang kebingungan.
Dia selalu memerintahku seenaknya, tapi kadang sepulang kerja dia membelikanku
es krim, aku tak tahu watak sebenarnya orang ini, namun aku tak ada gunanya
juga memikirkan hal kurang penting ini.
Suatu hari dia mengajakku shopping, dia menyuruhku membawa
belanjaannya, belanjaannya cukup banyak, dan melelahkanku, namun aku harus
bersabar sampai dia membayar upahku, walau sebenarnya hatiku sudah menggerutu.
Perjalanan bersamanya begitu membuatku ingin tidur lelap sekali, aku
berbaring di kamar dan melihat langit-langit kamar itu. Baru saja kesadaranku
akan hilang, tiba-tiba dia mengetuk pintu kamarku, aku gusar sekali, tidak
bisakah dia membiarkanku istirahat sebentar.
“Ada apa Tuan?” ucapku dengan nada mengantuk.
“Jangan memanggilku Tuan lagi, aku mulai tidak suka mendengarnya,
panggil saja aku Yobi.”
“Baik Tuan, ehh Yobi…”
“Ambilah ini!” dia menyodorkanku sebuah kotak persegi yang ukurannya tidak
terlalu besar.
“Apa ini?”
“Aku ingin kau menemaniku ke pesta temanku nanti jam 8 malam.” Dia pergi
begitu saja, tanpa memberiku penjelasan lebih detail tentang ajakannya yang
mendadak itu. Aku kembali berbaring di kasur dan meletakkan kotak itu di atas
meja. Namun sepertinya aku tidak bisa tidur, mataku tertuju pada kotak itu dan
tanganku sudah mulai menarik-narik badanku mengajakku membukanya. Akupun
membukanya, warna biru muda campur putih, gaun ini sangat cantik. Tapi untuk
apa dia memberiku gaun semahal dan semewah ini? Apa jangan-jangan dia memotong
gajiku, pikirku bodoh. Aku memasukkan gaun itu kembali ke kotaknya.
“Apa kau sudah siap?” pekiknya dari luar kamarku. Aku membukakan pintu
untuknya. Dia terkejut. “Hei, kenapa kau belum memakai gaun itu?!”
“Apa kau memberinya ikhlas? Atau kau memotong gajiku untuk membelinya?”
“Ceh! Tentu saja bodoh.”
“Kalau begitu aku tidak mau memakainya.” Ujarku sambil menyodorkan kotak
itu di depan matanya.
“Cepat pakai! Atau aku benar-benar akan memotong gajimu.”
“Jadi…”
“Cepatlah?!”
“Baik-baik, thanks.” Aku akhirnya mengenakan gaun itu, namun seperti
biasa aku tak suka dandan, buat apa juga dia bukan orang istimewa.
“Penampilanmu tak menggugah.”
“Apa maksudmu?!”dia hanya terdiam dan melajukan mobil dengan cepat.
Sesampai di pesta temannya aku di abaikan, aku dengar temannya berbisik
padanya. “Dia pacarmu?” sambil menatap ke arahku, jelas saja dia mengatakan
tidak, dan mengatakan bahwa aku hanya pembatunya. Sialan.
Perjalanan pulang dari pesta, itu sudah pukul 11 malam, suasana malam
terasa, suasana yang dingin menusuk tulang. Aku menyilangkan tanganku di dada
untuk mengurangi rasa dingin itu. Yobi tak memperhatikanku sedikitpun dasar
pria tak berperasaan. Bahkan ketika aku sampai rumah dia langsung masuk ke
kamarnya dan menyuruhku mengunci semua pintu rumah. Tiba-tiba listrik padam.
“Aaaaaaa…” aku berteriak karena takut, aku kembali ke kamarku dan langsung
menutup diri dengan selimut. Tiba-tiba kudengar ketukan pintu, aku tak berani
membukanya, tapi tiba-tiba saja pintunya terbuka, aku tak menguncinya.
“Siapa itu?” tanyaku gemetaran.
“Ini aku Yobi, memangnya tak ada lilin? Sampai-sampai kau berteriak
sekeras itu.” suara petir dan kilat menyala-nyala di luar jendela.
“Tidak ada.” Aku menyalakan HP-ku untuk memberi sedikit penerangan.
Kulihat dia melangkah mendekatiku. Sementara hujan mulai membisingkan kerena
derasnya.
“Kau kelihatan ketakutan?” tanyanya dengan nada berbisik. Suara petir
menggelegar, membuatku terkejut, di bawah kata sadar akupun memeluknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar