Setelah mendengar pengumaman kelulusan akupun dinyatakan lulus,
sejak saat itu aku merencanakan kuliah di UNRAM. Proses masuk ke UNRAM
menurutku sangat menantang, namun berkat usaha dan do’a dari keluarga, akupun
diterima.
Masalah hubunganku
dengan Niko, sejak kejadian 2 minggu lalu aku merasa ada resonansi di hatiku
setiap bertemu dengannya. Aku merasa nyaman didekatnya, kita sering berhubungan
long distance maksudku telponan. Dia selalu membantuku mengerjakan
tugas-tugasku, dan ternyata dia adalah mahasiswa disana juga, katanya sih
dia kerja sebagai kameramen untuk mencukupi biaya kuliah.
Niko selalu
mengerti kemauanku, dia selalu berusaha membuatku nyaman bila berada di sampingnya.
Sampai perasaanku ke Kak Kiki mulai terkubur dengan sendirinya. Mungkin memang
inilah takdir kami.
Hubunganku dengan
Niko berjalan cukup lama, kemarin kami merayakan first anniversary di
sebuah cafe dan diiringi alunan musik romantis yang membawa suasana hati kami
melayang kesana kemari. Kami menikmati malam itu dengan suara dentuman gelas
kami ketika bersulang.
Aku mempersiapkan
buku-buku beserta peralatan lainnya untuk bersiap-siap pergi ke kampus, tapi
tiba-tiba HP-ku berdering. Tak ada nama tapi aku mengangkatnya.
“Hallo…”
“Apa benar ini Cinta?”
suara wanita.
“Iya benar,”
“Nak, bisakah
datang kerumah Kiki, ini Mamanya Kiki Nak…,” ucapnya dengan suara memelas.
“Memangnya Kiki
kenapa Tante?” belum sempat aku mendengar jawabannya, telpon dari Mamanya Kak
Kiki keburu ketutup. Apa yang terjadi dengannya? Ah…aku bukan siapa-siapa dia,
ucapku dalam hati. Diluar tempat kos Niko sudah menunggu untuk mengantarku ke
kampus, akupun keluar menemuinya dan berangkat bersama. Diperjalan aku
memikirkan perkataan Mamanya Kak Kiki, dari suaranya terdengar miris dan
mengkhawatirkan.
“Niko….”
“Ada apa Cinta?”
“Bisakah kita
pulang ke Praya sebentar, ada yang harus aku ambil.” Rengekku.
“Jadi kamu ingin
bolos?”
“Sekali saja, ini
rahasia kita ya?”
“Baiklah, tapi ini pertama
dan terakhir kalinya ya….” Aku manggut-manggut dan tersenyum. Sesampai aku
dirumah, aku pura-pura mengambil sesuatu, dan keluar lagi menemui Niko yang
masih setia menantiku.
“Ko, kamu balik
duluan aja ya, nanti sore Ayah yang antar aku, kebetulan ada acara keluarga
nanti.”
“Oh, iya sudah
kalau begitu, aku balik dulu, jaga dirimu! Bye…” Maaf Niko aku
membohongimu, ujarku membatin. Kuperhatikan Niko sampai bayangannya benar-benar
sirna dari penglihatanku. Setelah bayangannya mulai tak terlihat, aku mengambil
kunci motorku dan melaju sangat cepat. Sesampaiku dirumah Kak Kiki, situasi
rumah begitu sepi. Aku memencet bel rumah sampai 3 kali.
“Apa ini rumahnya
Kiki?” Tanyaku pada wanita paruh baya yang membukakan pintu untukku.
“Kamu Cinta, masuklah,
saya Mamanya Kiki.” Akupun duduk di sofa miliknya, namun Kak Kiki belum juga
terlihat, entah kenapa aku mulai gugup dan mengeluarkan keringat dingin.
“Minum dulu, Nak!”
Ucap Mama Kak Kiki sekembalinya dari dapur.
“Makasih Tante.”
“Kiki banyak
bercerita tentang kamu, apa kalian berteman dekat?” apa benar dia banyak
mendengar tentang aku, aku merasa jengah mendengarnya.
“Memangnya dia
cerita apa aja Tante?”
“Banyak, sejak
perkenalan pertama kalian di sekolah, dia juga mengatakan kamu sangat cantik
ketika menangis.”
“Sejauh itu?”
kataku tercengang.
“Iya, dari dulu
memang dia sangat dekat dengan tante, dia anak Tante satu-satunya, dia
sebenarnya anak yang rapuh, namun dia tak pernah ingin kelihatan tak
bersemangat.” Saat itu aku mulai bingunng dengan kata-kata Mamanya Kak Kiki,
dan saat itu juga dia meneteskan air mata. Sebenarnya apa yang terjadi?
“Sudah Tante jangan
menangis lagi, sebenarnya apa yang terjadi?” tanyaku sembari menenangkannya.
“Dia anak yang
bersemangat, dulu Tante melarangnya pergi ke Singapore namun dia bersikeras
ingin kesana, dengan alasan ingin menggapai cita-citanya, namun….” Pemaparannya
terpotong, dia menangis lagi. “Ikut Tante!” tuturnya lembut sambil menarikku
menuju sebuah ruangan. “Masuklah!” perintahnya. Aku memasuki ruangan itu, dan
berjalan hati-hati, apa yang aku lihat? Kak Kiki terbaring lemah di atas tempat
tidur.
“Cinta, kau sudah
datang.” Sapanya dengan bibir tersenyum kecil, wajahnya pucat.
“Kau sakit?” ucapku
sembari duduk disamping tempat tidurnya, sementara Mamanya menunggu diluar.
“Kau apa kabar?”
tanyanya tanpa menggubris pertanyaanku.
“Aku baik Kak,”
jawabku sambil tersenyum ramah. Kuperhatikan wajahnya yang pucat, aku mulai
menyentuh keningnya. “Kau tidak demam, kau sakit apa?” dia terdiam sangat lama
dan seperti memikirkan sesuatu. Kuperhatikan mata putihnya mulai memerah, air
matanya membasahi bantal.
“Apa kau punya
pacar?” aku bingung harus jawab apa, aku hanya menggeleng-gelengkan kepala,
karena takut membuatnya tambah sakit.”Aku selalu ingin pulang ke Indonesia,
tepatnya untuk bertemu denganmu, aku terlalu takut kehilanganmu, firasatku kau
telah menghianatiku. Tapi ternyata kau masih menungguku. Terimakasih.”
Kata-katanya membuatku terharu dan seketika aku mengeluarkan air mata, maafkan
aku, aku telah berhianat, aku tak pantas untukmu lagi, pikirku. “Kenapa kau
menangis?” lanjutnya.
“Tidak, aku tidak
apa-apa.” Dia mencoba untuk bangkit dari pembaringannya, aku memegang lengannya
untuk membantunya. Dia menatapku dengan tatapan yang indah, dia mulai menyentuh
pipiku, menghapus air mataku.
“Kalau kamu
menangis, aku juga ikut sedih.” Dia menatapku tajam dan mulai mendekati
wajahku, dia memelukku, aku terlena. Tapi itu tak lama tiba-tiba saja dia batuk
sangat keras di pundakku, dia melerai tubuhnya dari tubuhku, dia menutup
mulutnya dengan tangannya, dia kelihatan begitu lemah.
“Kau kenapa?”
ucapku sambil memegang lengannya dan menangis lagi. Dia kelihatan begitu
tersiksa dengan batuk itu, tiba-tiba dia pingsan dan terkulai tak berdaya diatas
tempat tidur, tangannya yang tadi menutup mulutnya, kini menjauh dari mulutnya.
Kuambil tangannya, kulihat, tangannya penuh darah. Aku mulai tak tahu harus
berbuat apa. Aku berteriak memanggil Mamanya. Akhirnya ambulance datang
dan membawanya ke rumah sakit.
Berjam-jam aku
menunggu, dokter belum juga keluar dari ruang pemeriksaan, aku sangat khawatir.
“Kamu yang sabar
ya…” ucap Mamanya padaku dengan tangisan yang sudah tidak bisa di bendung.
Sampai malam aku menunggu hasil pemeriksaan, HP-ku berulang kali berdering,
telpon dari Niko, namun aku tak mengacuhkannya. Ini bukan saatnya aku kembali
ke Mataram. Tiba-tiba dokter keluar dari ruangan.
“Gimana Dok?”
tanyaku menginginkan jawaban cepat, namun dokter itu hanya diam saja dan
menatapku, lalu dia mulai menggelengkan kepala. Seketika aku dan Mamanya menangis histeris. Aku memasuki ruangan Kak
Kiki, tubuhnya yang sudah ditutupi kain putih, membuatku semakin benci diriku
sendiri, kubuka kain itu kupandangi wajahnya yang putih pucat.
Pemakaman Kak Kiki
telah usai, itu menjadi momentum yang tak akan pernah aku lupakan. Aku
melangkah dengan berat meninggalkan kuburannya, karena aku harus kembali kuliah
karena dulu dia pernah berkata bahwa dia tak menyukai orang bodoh. Mungkin
dengan cara ini aku bisa membayar kesalahanku dan membuatnya bangga.
“Cinta tunggu!”
panggil Mamanya. Aku menghentikan langkah kakiku dan berbalik arah menghadapnya.
”Sehari sebelum kematian Kiki, dia menitipkan ini untukmu.” Dia menyodorkan
secarik kertas dengan amplop berwarna merah. Diapun pergi dan aku mengantongi
surat itu, dan kubawa ke Mataram, untuk aku baca disana.
Malam yang
menyedihkan baru saja aku kehilangan seseorang yang mencintaiku begitu tulus, aku
mengambil surat dari Kak Kiki dan membukanya hati-hati.
“Dear Cinta,
Sejak
aku pergi meninggalkanmu, aku merasa kesepian disana, aku merasa tak memiliki
teman. Aku selalu memikirkanmu, aku selalu mengingat-ngingat bentuk wajahmu,
sampai suatu saat aku menemukan seseorang yang memili sifat persis denganmu. Kamu pasti mengira aku
menyukainya :) tidak
Cinta, di hatiku kamulah satu-satunya. Kamulah wanitaku.
Aku terkejut mendengar dokter mengatakan
kalau aku mengidap pneumonia 2 tahun yang lalu, saat itu aku benar-benar
tak tahu harus bagaimana, aku sangat takut tak bisa bersamamu, aku takut tak
bisa membahagiakanmu, aku takut tak bisa menikmati hidup bersamamu. Aku
bercita-cita ingin menjadi Ayah dan Suami yang baik dalam keluarga kita, namun
itu hanya ilusi belaka.
Cinta, penuhilah permintaan terakhirku ini. Hiduplah bersama orang yang
mencintaimu dengan tulus, tanam benih cintaku dihatinya sehingga berbuah manis
esoknya. Karena aku tak mungkin bisa bersamamu lagi. Aku menyayangimu.
KIKI :) “
Entah apa yang harus aku lakukan saat itu, aku benar-benar tak
tahu arah. Aku berjanji akan memenuhi permintaanmu, ucapku dalam hati.
Mengeluarka tetes demi tetes air mata. Kudengar bunyi klakson di depan kos, aku
segera membuka pintu dan berlari mendekati Niko. Aku menatapnya dengan penuh
kasih sayang.
“Kau kenapa
menangis?” tanyanya. Aku tak menjawab pertanyaannya, suara tangisku semakin
mendesah, aku memeluknya dan berbisik.
“Aku mencintaimu.”
Dia membalas pelukannku dan menenangkanku. Aku yang tadinya memejamkan mata
mulai membuka perlahan. Kulihat Kak Kiki berdiri dihadapanku dan tersenyum
padaku, dia memakai baju putih, wajahnya bercahaya, lalu bayangannya yang
lamat-lamat menghilang begitu saja. Wajahnya macam malaikat. Aku mengeratkan
pelukannku dan berkata dalam hati. “Kak
aku berjanji akan menanam benih cintamu di hati orang yang mendekapku saat ini.
Selamat jalan. Aku yakin kau telah bahagia bersama bidadari-bidadari Tuhan.”
(END)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar