Source: http://www.amronbadriza.com/2012/10/cara-membuat-anti-copy-paste-di-blog.html#ixzz2FTRb0UOK
SILAHKAN DI BACA JANGAN JADI PLAGIAT OKE :) SILAHKAN DI SHARE LINKNYA :)

Minggu, 09 Desember 2012

Kakak Kelas (Part V)


Setelah mendengar pengumaman kelulusan akupun dinyatakan lulus, sejak saat itu aku merencanakan kuliah di UNRAM. Proses masuk ke UNRAM menurutku sangat menantang, namun berkat usaha dan do’a dari keluarga, akupun diterima.
     Masalah hubunganku dengan Niko, sejak kejadian 2 minggu lalu aku merasa ada resonansi di hatiku setiap bertemu dengannya. Aku merasa nyaman didekatnya, kita sering berhubungan long distance maksudku telponan. Dia selalu membantuku mengerjakan tugas-tugasku, dan ternyata dia adalah mahasiswa disana juga, katanya sih dia kerja sebagai kameramen untuk mencukupi biaya kuliah.
     Niko selalu mengerti kemauanku, dia selalu berusaha membuatku nyaman bila berada di sampingnya. Sampai perasaanku ke Kak Kiki mulai terkubur dengan sendirinya. Mungkin memang inilah takdir kami.
      Hubunganku dengan Niko berjalan cukup lama, kemarin kami merayakan first anniversary di sebuah cafe dan diiringi alunan musik romantis yang membawa suasana hati kami melayang kesana kemari. Kami menikmati malam itu dengan suara dentuman gelas kami ketika bersulang.
     Aku mempersiapkan buku-buku beserta peralatan lainnya untuk bersiap-siap pergi ke kampus, tapi tiba-tiba HP-ku berdering. Tak ada nama tapi aku mengangkatnya.
     “Hallo…”
     “Apa benar ini Cinta?” suara wanita.
     “Iya benar,”
     “Nak, bisakah datang kerumah Kiki, ini Mamanya Kiki Nak…,” ucapnya dengan suara memelas.
     “Memangnya Kiki kenapa Tante?” belum sempat aku mendengar jawabannya, telpon dari Mamanya Kak Kiki keburu ketutup. Apa yang terjadi dengannya? Ah…aku bukan siapa-siapa dia, ucapku dalam hati. Diluar tempat kos Niko sudah menunggu untuk mengantarku ke kampus, akupun keluar menemuinya dan berangkat bersama. Diperjalan aku memikirkan perkataan Mamanya Kak Kiki, dari suaranya terdengar miris dan mengkhawatirkan.
     “Niko….”
     “Ada apa Cinta?”
     “Bisakah kita pulang ke Praya sebentar, ada yang harus aku ambil.” Rengekku.
     “Jadi kamu ingin bolos?”
     “Sekali saja, ini rahasia kita ya?”
     “Baiklah, tapi ini pertama dan terakhir kalinya ya….” Aku manggut-manggut dan tersenyum. Sesampai aku dirumah, aku pura-pura mengambil sesuatu, dan keluar lagi menemui Niko yang masih setia menantiku.
     “Ko, kamu balik duluan aja ya, nanti sore Ayah yang antar aku, kebetulan ada acara keluarga nanti.”
     “Oh, iya sudah kalau begitu, aku balik dulu, jaga dirimu! Bye…” Maaf Niko aku membohongimu, ujarku membatin. Kuperhatikan Niko sampai bayangannya benar-benar sirna dari penglihatanku. Setelah bayangannya mulai tak terlihat, aku mengambil kunci motorku dan melaju sangat cepat. Sesampaiku dirumah Kak Kiki, situasi rumah begitu sepi. Aku memencet bel rumah sampai 3 kali.
     “Apa ini rumahnya Kiki?” Tanyaku pada wanita paruh baya yang membukakan pintu untukku.
     “Kamu Cinta, masuklah, saya Mamanya Kiki.” Akupun duduk di sofa miliknya, namun Kak Kiki belum juga terlihat, entah kenapa aku mulai gugup dan mengeluarkan keringat dingin.
     “Minum dulu, Nak!” Ucap Mama Kak Kiki sekembalinya dari dapur.
     “Makasih Tante.”
     “Kiki banyak bercerita tentang kamu, apa kalian berteman dekat?” apa benar dia banyak mendengar tentang aku, aku merasa jengah mendengarnya.
     “Memangnya dia cerita apa aja Tante?”
     “Banyak, sejak perkenalan pertama kalian di sekolah, dia juga mengatakan kamu sangat cantik ketika menangis.”
     “Sejauh itu?” kataku tercengang.
     “Iya, dari dulu memang dia sangat dekat dengan tante, dia anak Tante satu-satunya, dia sebenarnya anak yang rapuh, namun dia tak pernah ingin kelihatan tak bersemangat.” Saat itu aku mulai bingunng dengan kata-kata Mamanya Kak Kiki, dan saat itu juga dia meneteskan air mata. Sebenarnya apa yang terjadi?
     “Sudah Tante jangan menangis lagi, sebenarnya apa yang terjadi?” tanyaku sembari menenangkannya.
     “Dia anak yang bersemangat, dulu Tante melarangnya pergi ke Singapore namun dia bersikeras ingin kesana, dengan alasan ingin menggapai cita-citanya, namun….” Pemaparannya terpotong, dia menangis lagi. “Ikut Tante!” tuturnya lembut sambil menarikku menuju sebuah ruangan. “Masuklah!” perintahnya. Aku memasuki ruangan itu, dan berjalan hati-hati, apa yang aku lihat? Kak Kiki terbaring lemah di atas tempat tidur.
     “Cinta, kau sudah datang.” Sapanya dengan bibir tersenyum kecil, wajahnya pucat.
     “Kau sakit?” ucapku sembari duduk disamping tempat tidurnya, sementara Mamanya menunggu diluar.
     “Kau apa kabar?” tanyanya tanpa menggubris pertanyaanku.
     “Aku baik Kak,” jawabku sambil tersenyum ramah. Kuperhatikan wajahnya yang pucat, aku mulai menyentuh keningnya. “Kau tidak demam, kau sakit apa?” dia terdiam sangat lama dan seperti memikirkan sesuatu. Kuperhatikan mata putihnya mulai memerah, air matanya membasahi bantal.
     “Apa kau punya pacar?” aku bingung harus jawab apa, aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, karena takut membuatnya tambah sakit.”Aku selalu ingin pulang ke Indonesia, tepatnya untuk bertemu denganmu, aku terlalu takut kehilanganmu, firasatku kau telah menghianatiku. Tapi ternyata kau masih menungguku. Terimakasih.” Kata-katanya membuatku terharu dan seketika aku mengeluarkan air mata, maafkan aku, aku telah berhianat, aku tak pantas untukmu lagi, pikirku. “Kenapa kau menangis?” lanjutnya.
     “Tidak, aku tidak apa-apa.” Dia mencoba untuk bangkit dari pembaringannya, aku memegang lengannya untuk membantunya. Dia menatapku dengan tatapan yang indah, dia mulai menyentuh pipiku, menghapus air mataku.
     “Kalau kamu menangis, aku juga ikut sedih.” Dia menatapku tajam dan mulai mendekati wajahku, dia memelukku, aku terlena. Tapi itu tak lama tiba-tiba saja dia batuk sangat keras di pundakku, dia melerai tubuhnya dari tubuhku, dia menutup mulutnya dengan tangannya, dia kelihatan begitu lemah.
      “Kau kenapa?” ucapku sambil memegang lengannya dan menangis lagi. Dia kelihatan begitu tersiksa dengan batuk itu, tiba-tiba dia pingsan dan terkulai tak berdaya diatas tempat tidur, tangannya yang tadi menutup mulutnya, kini menjauh dari mulutnya. Kuambil tangannya, kulihat, tangannya penuh darah. Aku mulai tak tahu harus berbuat apa. Aku berteriak memanggil Mamanya. Akhirnya ambulance datang dan membawanya ke rumah sakit.
     Berjam-jam aku menunggu, dokter belum juga keluar dari ruang pemeriksaan, aku sangat khawatir.
     “Kamu yang sabar ya…” ucap Mamanya padaku dengan tangisan yang sudah tidak bisa di bendung. Sampai malam aku menunggu hasil pemeriksaan, HP-ku berulang kali berdering, telpon dari Niko, namun aku tak mengacuhkannya. Ini bukan saatnya aku kembali ke Mataram. Tiba-tiba dokter keluar dari ruangan.
     “Gimana Dok?” tanyaku menginginkan jawaban cepat, namun dokter itu hanya diam saja dan menatapku, lalu dia mulai menggelengkan kepala. Seketika aku dan Mamanya  menangis histeris. Aku memasuki ruangan Kak Kiki, tubuhnya yang sudah ditutupi kain putih, membuatku semakin benci diriku sendiri, kubuka kain itu kupandangi wajahnya yang putih pucat.
     Pemakaman Kak Kiki telah usai, itu menjadi momentum yang tak akan pernah aku lupakan. Aku melangkah dengan berat meninggalkan kuburannya, karena aku harus kembali kuliah karena dulu dia pernah berkata bahwa dia tak menyukai orang bodoh. Mungkin dengan cara ini aku bisa membayar kesalahanku dan membuatnya bangga.
     “Cinta tunggu!” panggil Mamanya. Aku menghentikan langkah kakiku dan berbalik arah menghadapnya. ”Sehari sebelum kematian Kiki, dia menitipkan ini untukmu.” Dia menyodorkan secarik kertas dengan amplop berwarna merah. Diapun pergi dan aku mengantongi surat itu, dan kubawa ke Mataram, untuk aku baca disana.
     Malam yang menyedihkan baru saja aku kehilangan seseorang yang mencintaiku begitu tulus, aku mengambil surat dari Kak Kiki dan membukanya hati-hati.
     Dear Cinta,
            Sejak aku pergi meninggalkanmu, aku merasa kesepian disana, aku merasa tak memiliki teman. Aku selalu memikirkanmu, aku selalu mengingat-ngingat bentuk wajahmu, sampai suatu saat aku menemukan seseorang yang memili sifat  persis denganmu. Kamu pasti mengira aku menyukainya :) tidak Cinta, di hatiku kamulah satu-satunya. Kamulah wanitaku.
          Aku terkejut mendengar dokter mengatakan  kalau aku mengidap pneumonia 2 tahun yang lalu, saat itu aku benar-benar tak tahu harus bagaimana, aku sangat takut tak bisa bersamamu, aku takut tak bisa membahagiakanmu, aku takut tak bisa menikmati hidup bersamamu. Aku bercita-cita ingin menjadi Ayah dan Suami yang baik dalam keluarga kita, namun itu hanya ilusi belaka.
       Cinta, penuhilah permintaan terakhirku ini. Hiduplah bersama orang yang mencintaimu dengan tulus, tanam benih cintaku dihatinya sehingga berbuah manis esoknya. Karena aku tak mungkin bisa bersamamu lagi. Aku menyayangimu.
                                                                                            KIKI :)
Entah apa yang harus aku lakukan saat itu, aku benar-benar tak tahu arah. Aku berjanji akan memenuhi permintaanmu, ucapku dalam hati. Mengeluarka tetes demi tetes air mata. Kudengar bunyi klakson di depan kos, aku segera membuka pintu dan berlari mendekati Niko. Aku menatapnya dengan penuh kasih sayang.
     “Kau kenapa menangis?” tanyanya. Aku tak menjawab pertanyaannya, suara tangisku semakin mendesah, aku memeluknya dan berbisik.
     “Aku mencintaimu.” Dia membalas pelukannku dan menenangkanku. Aku yang tadinya memejamkan mata mulai membuka perlahan. Kulihat Kak Kiki berdiri dihadapanku dan tersenyum padaku, dia memakai baju putih, wajahnya bercahaya, lalu bayangannya yang lamat-lamat menghilang begitu saja. Wajahnya macam malaikat. Aku mengeratkan pelukannku  dan berkata dalam hati. “Kak aku berjanji akan menanam benih cintamu di hati orang yang mendekapku saat ini. Selamat jalan. Aku yakin kau telah bahagia bersama bidadari-bidadari Tuhan.”
       
                                                        (END)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar