“Kring…kring…” terdengar suara bel keluar main. Mataku mulai
merekah sebab sedari tadi otakku ingin membebaskan diri dari kenanaran
pelajaran Matematika. Kutatap siswa-siswi yang berlalu lalang didepanku keluar
masuk ruang kelas. Dalam keadaan setengah mengantuk aku berusaha bangkit dari
tempat dudukku mencari kesegaran angin di luar sana. Tanpa sengaja mataku menatap
seorang siswi yang duduk di deretan tempat dudukku kuperhatikan wajah seriusnya
menghitung angka-angka Matematika yang mengerikan, menurutku. Aku mendekati
siswi berambut sebahu yang duduk di bangku paling belakang itu.
“Hai…” sapaku
padanya. Dia hanya terdiam dan terus melakukan aktivitasnya; menghitung. Aku
menyapanya lagi sampai tiga kali namun dia tetap saja tak menggubris sapaanku.
“Kau tak ingin keluar main sekedar untuk mengisi perut?” aku mulai berani
bertanya padanya. Seperti biasa dia tak memperdulikanku. Aku bertanya lagi dan
lagi tapi dia tak juga melihatku, aneh sekali orang ini gerutuku dalam hati. Tak
ada angin tak ada hujan dia melihatku dengan sorot mata jarum dengan maksud
mengusir. Akupun pergi dan kembali duduk di tempatku dengan membawa sejuta rasa penasaran. Dia siswi paling
aneh yang pernah aku temui sepertinya dia punya kelainan. Sejak awal
pembelajaran sampai akhir pembelajaran dia jarang sekali berbicara bahkan tak
pernah tapi anehnya dia selalu fokus saat proses pembelajaran berlangsung dia
juga jarang keluar kelas kelas waktu keluar main palingan dia hanya keluar ke
perpustakaan. Aku sering melihatnya berdiam dikelas hanya untuk membaca atau
menulis-nulis. Ini bukan kali pertama aku menyapanya ini sudah sering aku
lakukan karena aku benar-benar ingin mengetahui banyak tentang dia. Awalnya aku
tak mengetahui namanya tapi aku sempat mendengar namanya saat guru mengecek
kehadiran kita, dia hanya mengangkat tangan tanpa bersuara.
“Kring…kring…kring…” suara
bel masuk. Ditengah pembelajaran jam keempat aku terus saja memperhatikan Dina;
siswi aneh itu. Gadis bermata coklat itu benar-benar berkonsentrasi saat
pembelajaran berlangsung tapi kenapa dia tak pernah menonjolkan kebisaannya?
Dia selalu belajar sendiri. Aku rasa
ini…, “Morri ini hasil ulanganmu.” Panggil Bu Santi guru Fisika pada Morri, ini
memecah lamunanku. Morri adalah siswi yang katanya tercantik dikelas rambut
panjangnya selalu terurai lepas. Pertama kali aku melihatnya aku mengakui dia
memang cantik tapi setelah aku tahu dia memiliki arogansi yang sangat tinggi
aku menjadi tak tertarik lagi untuk mengenalnya lebih jauh. Aku duduk di bangku
kedua tepat di belakangnya, jika dia ditanya kenapa dia duduk didepan oleh
teman-teman yang lain dia pasti menjawab. “Itulah orang-orang cerdas dan selalu
memerhatikan guru.” Huaa… sungguh aku muak mendengar keangkuhannya itu.
“Putri, aku dapat
nilai 10 loo ulangan ini.”
“O, ya selamat ya
Ri…” ujarku memberikan senyuman palsu.
“Kapan kamu bisa
sepertiku? Jangan molor aja. Hahaha”
“Hmmm… aku akan
berusaha.” Suaraku menciut. Dia kembali menghadap depan. Ucapannya secara tidak
langsung mengejekku, seandainya tidak ada guru mungkin…, “Dina, ini nilai
ulanganmu.” Bu Santi memanggil siswi misterius itu, kuperhatikan langkah demi
langkah kakinya, wajahnya kelihatan biasa dan slow. Setelah dia
mengambil kertas hasil ulangan hariannya dia segera kembali ke tempat duduknya.
Dia tidak pernah mempublikasi hasil ulangannya, dia sangat tertutup berbanding
terbalik dengan Morri siswi angkuh yang suka pamer dan merasa tak ada yang
mampu menandinginya.
***
Sisi kiri kananku
penuh dengan tilikan puluhan pasang mata mencari-cari jawaban. Aku menoleh
melihat Dina dia sedang konsentrasi menjawab permintaan soal-soal yang ada
dihadapannya. Didepanku Morri mengerjakan soal dengan senyum-senyum kesombongan
dengan tampang yang sok. Dia amat pintar menyembunyikan kertas contekannya,
huft… Pembohong besar, pantaskah dia menjadi juara kelas seperti tahun kemarin?
Penipuan nyata didepan mata semua guru yang aku ajukan pertanyaan tentang hal
ini dia pasti menjawab. “Saya tahu siapa-siapa yang jujur dan yang tidak.” Aku
menganggap jawaban guru itu adalah jawaban sampah, jika mereka tahu mengapa
mereka masih saja menjadikan Morri juara kelas dua kali berturut-turut? Aku
ingin sekali menyingkirkan gadis itu. “Kriing…kring…” terdengar bel pertanda
kertas ujian harus dikumpulkan. Aku harap ujian semester ganjil tahun ini
berbeda dari sebelumnya. Aku bosan melihat gadis congkak itu dari kelas 10
sampai kelas 11 sekarang ini selalu dia yang mendapat peringkat pertama Morri
Morri dan Morri lagi.
***
Bulan Desember dimana
semua siswa-siswi akan menerima raport semester ganjil kelas 10,11 dan 12.
Kondisi langit yang mendung mendukung ketegangan pembagian raport. “Baiklah
anak-anak sekarang ibu akan mengumumkan siapa-siapa saja yang mendapat
peringkat pertama, kedua dan ketiga. Juara ketiga diraih oleh…,” keadaan kelas
mulai menegang tak ada yang dapat berbicara. Hening. “…Bayu Setyo. Tepuk
tangan…” tepuk tangan meriah itu terdengar. Bayu adalah murid yang baik namun
dari kelas 10 peringkatnya selalu tiga. “… Juara kedua diraih oleh…,” semuanya
menegang. Semua siswa sudah mulai menebak-nebak. “…Mira Marissa, Tepuk tangan
untuk Mira…” Mira adalah siswi yang sederhana namun sangat disiplin dan bersih.
Inilah saat yang aku tunggu-tunggu. Juara pertama, ya siapa yang akan
meraihnya, aku selalu berharap bukan nenek sihir itu lagi.
“Juara pertama pasti
aku yang meraihnya kamu lihat saja nanti Put.” Ucap Morri menoleh menghadapku. Aku hampir saja menutup mulutnya dengan
sepatuku andai saja bukan di sekolah. “Baiklah anak-anak inilah saat yang kita
tunggu-tunggu siapa yang akan meraih juara pertama.” Semuanya mulai bungkam dan
sepertinya wajah semua murid tahu bahwa Morri yang akan mendapatkannya. Namun
berbeda dengan ekspresi Dina, kuperhatikan dia hanya diam menunduk di
bangkunya, wajahnya nampak pasrah namun tak menyerah. “Baiklah juara pertama
diraih oleh…,” siapa ya? Siapa ya? “… Dina Mutiasari… tepuk tangan untuk Dina…”
aku mulai tercengang, mataku yang tadinya biasa menjadi terbelalak. Dina siswi
pendiam itu meraih juara pertama, pelik. Ini sungguh mengherankan tapi disisi
lain aku merasa puas melihat wajah Morri begitu kecewa dan tentunya malu
habis-habisan. Dia berdiri mencoba untuk berlari membawa rasa malunya. Wajah
kecewanya membuatku ingin tertawa terbahak-bahak.
“Tunggu Ri!” dia
menghadapku, akupun berdiri. “Selamat atas kemenanganmu.” olokku. Dia tak
menjawabku dan menepis tanganku yang ingin berjabat dengannya. Dasar anak
sombong, pikirku sembari mengangkat ujung bibir kananku. Aku melihat kerumunan
siswa yang merubung di bangku Dina. Bagaimana bisa dia mendapatkannya dan
mengalahkan Morri?
Aku berjalan menuju
ruang guru, aku ingin sekali menanyakan pada wali kelasku kenapa peringkat
pertama di raih Dina bukan Morri? Aku berjalan memegang pertanyaan itu, akhirnya
aku bertemu wali kelasku setelah mengucap salam aku dengan lancarnya
melontarkan pertanyaan itu dan dia menjawab. “Ibu percaya kejujuran akan selalu
menang dan kecurangan akan selalu kalah. Bagi ibu Dina bukan anak yang aneh
atau kelainan dia adalah siswi professional. Dia tak pernah menunjukkan
kepintarannya, bahkan kesombongan tak ada dalam dirinya. Pernah suatu hari ibu
bertanya padanya kenapa dia tak pernah menunjukkan kemampuannya namun dia diam
saja. Bagi ibu dia adalah anak yang baik dan jujur, ibu seratus persen percaya
kemenangannya adalah hasil kerja keras dia sendiri.” Sekarang aku mengerti. Aku
berlari menuju ruang kelas aku ingin mengucap selamat kepada Dina. Sesampai aku
dikelas aku langsung berdiri di hadapannya.
“Selamat ya Dina…”
ucapku dengan napas terengah-engah dan tangan yang ingin berjabat tapi seperti
biasa dia hanya diam dan tetap memandang bukunya. Seolah-olah dia tak
mendengarku. Akupun berbalik membelakanginya. Mungkin ini belum saatnya aku
mengajaknya bicara, pikirku.
“Tunggu…” panggilnya.
“Terimakasih…” aku hanya mengangguk dan memberi senyum. “Kurasa kau adalah
orang yang baik. Maukah kau menjadi temanku?” mimpi apa dia? ingin menjadi
temanku. Ini kali pertama aku mendengar suaranya, cukup anggun dan lembut.
“Aku punya satu syarat
jika kau benar-benar ingin menjadi temanku…,” ucapku menantang. Dia melihatku dengan
tatapan penasaran, dahinya mulai mengernyit dan mata coklatnya mulai bertanya-tanya.
“Apa?” ujarnya.
“Ajari aku bagaimana
menjadi sepertimu!” dia tersenyum lebar dan kegirangan akupun ikut tersenyum
tapi tiba-tiba senyumannya berubah menjadi sebuah tatapan mengerikan dengan
sorot mata mulai menajam.
“Tapi kau harus bayar
mahal.” Katanya.
“Baiklah. Berapa?”
“Tidak dengan uang.”
“Lalu apa?”
“Kau harus membantuku
menaburkan kejujuran. Kamu sanggup?”
“Tentu
saja. Hahaha…” ruang kelas tiba-tiba berubah menjadi lautan tawa kita berdua
menciptakan canda dan tawa kemenangan. Rasa penasaranku terpecahkan sudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar