Jam menunjukkan pukul 7 pagi,
waktunya aku menyiapkan sarapan untuknya. Namun pria sombong itu masih tertidur
pulas. Tanpa perjanjian, tiba-tiba bel rumah berbunyi akupun membuka pintu.
“Pagi, apa saya bisa bertemu dengan Yobi?” Tanya pria gagah berpakaian
rapi itu.
“Bisa, silahkan masuk! saya akan memanggilnya.” Dia tersenyum ramah dan
duduk di sofa milik Yobi. Aku berjalan menuju kamar Yobi.
“Bangun! Ada yang mencarimu.” Dia menggaruk-garuk kepalanya dan menguap,
napasnya tidak mengenakkan.
“Siapa yang bertamu masih pagi begini?”
“Aku lupa menanyakan namanya.” Dia segera bangkit dari tempat tidurnya
dan mencuci muka, lalu pergi menemui orang itu. Kulihat Yobi gembira sekali
bertemu dengan orang itu. Aku menyiapkan minuman untuk tamu itu. Tapi entah apa
yang membuatku kesandung, akhirnya 2 gelas pecah karenaku.
“Hei… apa itu? Hati-hati dong?!” Pekik Yobi. Dia sama sekali tidak
menghampiriku, dia masih asik bicara dengan temannya itu, pria itu dingin
sekali padaku, apalagi semalam dia mendorong tubuhku sampai terjatuh, dia
mengatakan aku adalah wanita penakut. Terang saja aku tak menerima tuduhannya,
jujur saja 5 menit berpelukan dengannya membuatku nyaman dan hangat. Wataknya
selalu berubah dalam hitungan jam, aku bingung sebenarnya watak aslinya itu seperti
apa? menyebalkan atau menyenangkan. “Aww…” tanganku terkena pecahan gelas,
namun tak sampai terdengar oleh telinga mereka;Yobi dan temannya.
“Mana tehnya?” teriakknya.
“Ya, tunggu sebentar.” Tak sempat aku membersihkan luka di tanganku,
akupun membuat teh baru untuk mereka dan mengantarnya keruang tamu.
“Terimakasih ya.” Ucap teman Yobi, dia ramah, berbanding terbalik dengan
Yobi. Bahkan dia tak mengucap terimakasih, dia malah menyuruhku cepat-cepat
pergi dari situ.
Aku sudah menyiapkan sarapan di atas meja makan, saatnya aku mencuci
piring, aku seakan lupa tanganku terluka, tanganku terasa perih, aku tak tahu
dimana obat merah atau apalah yang bisa mengobati lukaku. Tiba-tiba ada yang
memelukku dari belakang, orang itu menyilangkan kedua tangannya di atas dadaku,
dan bibirnya mendekati telingaku, napasnya membuat geli telingaku.
“Tanganmu masih sakit?” Aku berbalik dan melepaskan pelukannya.
“Yobi?”
“Iya,”
“Mimpi apa kau semalam? Menanyakan keadaanku.”
“Lihat! Tanganmu berdarah, aku akan mengambilkan obat untukmu.” Dia
memegang tanganku dan melepasnya pelan. Itulah, kadang dia begitu baik padaku,
kadang membentakku sangat keras seperti dia berteriak di hutan. Aku menunggu
dia. Dia datang membawa obat merah dan perban untukku. Dia membungkus lukaku,
saat ini dia seperti malaikat, tatapannya hangat, namun mungkin beberapa menit
lagi dia akan berubah menjadi serigala. Siapa yang tahu itu.
“Kamu sudah sarapan?” Tanya Yobi selesai membungkus luka di tanganku.
“Belum,”
“Mari kita makan bersama di meja makan.”
“Tidak, aku kan hanya pembokatmu.”
“Saat ini kau adalah temanku, ayok!” dia menarikku, terpaksa aku
menemaninya makan, untung saja yang terluka tangan kiriku, jadi aku bisa
memegang sendok dengan tangan sopan. Aku menikmati makan pagi itu, tak tahu
kenapa aku mulai malu dan salah tingkah disertai getaran ajaib di hati, ketika
dia mendekatkan wajahnya pada wajahku, semakin dekat, kulihat sorot matanya memandang
lembut namun tajam memperhatikan bibirku, apa dia akan menciumku? Pikirku
instan. Wajahnya semakin dekat mendekati pipiku, dia meraba pipi halusku, dan
mendekatkan mulutnya di telingaku dan berbisik. “Hei, lihat ini, sisa nasi di
pipimu!” ucapnya dengan nada agak keras sambil menunjukan sebutir nasi yang
melekat di jari telunjuknya. Apa aku bilang dalam hitungan menit dia berubah
menjadi serigala yang so cruel.
Malamnya hujan turun lagi, aku tak mau kelihatan penakut lagi. Aku
mengunci semua pintu dan jendela dan menyembunyikan diri dibawah selimut, hujan
saat itu tidak begitu deras. Tiba-tiba dia mengetuk pintu kamarku persis
seperti kejadian semalam, akupun membukakannya.
“Ada apa?”
“Kau tak membutuhkan pelukanku lagi?” ucapnya dengan nada menggoda. Dasar
pria jalang, ucapku membatin.
“Apa kau bercanda hah?!”
“Tidak!” ucapnya tegas. Dia menarik secara keras tanganku dan otomatis
tubuhku juga ikut tertarik dan akhirnya wajahku mendarat di dadanya. Akupun
bungkam. Hangat memang. Dia memelukku cukup lama. Hening.
“Lepaskan aku?!” ucapku geram, dia hanya terdiam dan mempererat
pelukannya sambil meraba-raba rambutku.
“Aku mencintaimu.” Aku tercenung sejenak, dia begitu mudah melisankan
frasa kata semacam itu.
“Sudahlah, kau jangan mempermainkanku.” Aku kembali ke kamarku dan
mengunci pintu, diapun begitu. Aku tak menyangka semudah itu dia mengatakan hal
itu, dia benar-benar merendahkan harga diriku.
Aku harap dia melupakan kejadian semalam, wanita sepertiku tak pantas
untuknya, apalagi aku sudah pernah gagal dalam pernikahan, tentu saja tak mudah
mempercayai pria lain lagi, walaupun sebenarnya aku juga memiliki perasaan yang
sama.
“Kamu siapkan air hangat untukku, cepat!” pekiknya memerintahku kasar.
Aku hanya mengangguk pelan dan memasak air untuknya. Diapun selesai mandi dan
memakai baju yang rapi.
“Ganti bajumu sekarang!” perintahnya.
“Memangnya mau kemana?”
“Jangan banyak tanya.” Katanya setengah berteriak.
“Baiklah!” kataku pasrah.
Aku tak tahu jalan pikirannya, dia cukup bilang saja ke minimarket,
hmmm… pria banyak sekali basa basi. Kita pulang membawa barang belanjaan yang
cukup banyak, dia menarikku masuk lagi kedalam mobilnya.
“Kita mau kemana lagi?”
“Diamlah!” ucapnya. Aku bingung dengan pria ini.
Di perjalanan dia hanya asyik sendiri mendengarkan musik. Membisingkan.
Nyatanya dia mengajakku ke pinggir sungai, aku belum pernah ke sungai itu
sebelumnya. Sedikit indah. Aku turun dari mobilnya. Aku melihat kearah sungai diapun begitu melihat kesana dan
berdiri di sampingku, dia berdiri tegak
sambil tangannya dimasukkan ke kantong celana jeansnya.
“Bagaimana? Tempat ini indah kan?” tanyanya dengan nada lembut dan
sedikit tersenyum.
“Iya, benar-benar amazing.”
“Kamu suka?” aku hanya mengangguk. “Kalau begitu aku akan sering
mengajakmu kesini.”
“Benar begitu?”
“Tentu saja!” kembali kupandangi sungai itu. “Kirin …” Aku kaget
mendengar dia menyebut namaku.
“Perasaan kau tak pernah bertanya namaku, aku juga tak pernah
memberitahumu.”
“Ini apa?” dia menunjukkan KTP ku.
“Dimana kau mendapatkannya?”
“Terjatuh saat kau naik pertama kali ke mobilku,”
“Kembalikan!”
“Tidak!”
“Apa kau bilang?”
“Lihat aku!” dia memegang
pundakku dan memaksaku melihatnya, dia menatapku begitu tajam namun lembut,
matanya bercahaya, keadaan hening sementara. Dia melingkarkan tangannya di
leherku, apa kali ini benar-benar menciumku? Pikiranku tak jernih, namun jujur
aku deg-degan, tak bisa menahan lagi, ingin berteriak mengatakan aku jatuh
cinta. Mulutnya mendekati wajahku, dia menyentuh rambutku yang menghalangi
telingaku, dia berbisik.
“Will you marry me?” saat itu aku tak tahu harus menjawab
apa, aku mendorong tubuhnya menjauh dan dengan tegas mengatakan.
“Kau jangan bercanda, aku sudah pernah menikah, jangan bergurau
denganku.” Akupun berbalik meninggalkannya, namun dia mengejarku.
“Aku dikenal sangat serius oleh teman-temanku, aku tak suka bercanda.
Walaupun kau sudah pernah menikah, aku tak peduli, bagiku kau wanita pertama
yang membuatku merasa tak bisa tidur, jujur saja setiap malam aku selalu
memandangi wajah indah mu, apalagi ketika kau memelukku, serasa aku tak ingin
melepaskanmu.”
“Munafik?!” pekikku
menghadapnya. Jarakku cukup jauh dengannya, kira-kira 4 meter.
“Aku bukannya munafik atau tak mau mengakui perasaan, namun aku hanya
menguji sejauh mana kau bertahan mencintaiku.”
“Jahat sekali kau, aku sudah bilang aku tidak menyukaimu.” Dia berjalan mendekatiku,
aku berhadapan lagi, kali ini sangat dekat, dia menatap dalam mataku, sorot
matanya seakan menghipnotisku untuk tetap berdiri di hadapannya.
“Lihat dirimu! apa kau bisa mengelak sedang matamu ingin menangis karena
menahan rasa?”
“Aku tidak menangis.” Ucapku sembari mengeluarkan air mata tak
tertahankan;nyesek. Dia lalu mengusap pipiku, menghapus air mataku sembari
mengatakan.
“Kamu mungkin bisa membohongiku dengan kata-katamu, namun bahasa nonverbal
yang kau tunjukkan membuatku yakin kau juga membutuhkanku, aku berjanji tak
akan membuatmu merasakan sakit untuk kedua kalinya. ” Ucapnya lirih.
“Maafkan aku…” ucapku sambil
mendengar tangisku yang tersedu sedan, dia lalu memelukku dengan kuat sekali,
aku pun tersenyum bahagia. Dia berbisik lembut dan pelan.
“Once again, Will you marry me?” aku menghela napas
panjang dan menjawab.
“Yes, I do.”
(END)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar