Source: http://www.amronbadriza.com/2012/10/cara-membuat-anti-copy-paste-di-blog.html#ixzz2FTRb0UOK
SILAHKAN DI BACA JANGAN JADI PLAGIAT OKE :) SILAHKAN DI SHARE LINKNYA :)

Sabtu, 29 Desember 2012

Ketulusan Hati Balqis

 

       “Eh… kalian tau nggak cowok super keren yang ada disekolah kita? Murid baru itu lho…” ujar Sania.
      “Jelas dong, malah dia jadi rebutan.” Sahut Maria.
      “Dalam waktu seminggu atau dua minggu dia pasti jadi milik gue.” Ucap Vita dengan penuh rasa PD.
      “Kalian jangan ngarep dulu deh, kemarin gue makan dikantin semeja sama dia.” Sergah Mika dengan wajah penuh pengharapan ingin dipuji.
      “WHAT? Jangan GR deh lo…” gumam Vita.
      “Sudahlah, bagaimana kalau kita bersaing secara sehat dan adil. Setuju?” ucap Maria.
      “SETUJU.” Teriak mereka serentak sambil tertawa terkekeh-kekeh.
      “Qis, lo nggak ikutan sama kita?” Tanya Maria sebagai tuan rumah. Iya, Balqis satu-satunya gadis paling pendiam diantara mereka. Mereka berlima sudah berteman sejak SMP, mereka sulit sekali terpisahkan walaupun mereka memiliki sifat dan sikap yang perbedaannya sangat menonjol. Balqis adalah gadis alim berjilbab, lemah lembut dan intropert. Vita gadis keras kepala tapi memiliki rasa solid tinggi. Maria gadis yang suka sama cowok-cowok baru disekolah. Mika gadis yang memiliki tingkat ke-PD-an yang terlalu muluk. Sania gadis yang nggak suka ketinggalan zaman pokoknya pengen selalu up to date.
      “Ah… lanjutin deh.” Jawab Balqis dari balik buku paket Biologi yang ia baca. Balqis memang tidak suka membuang-buang waktu apalagi membicarakan cowok. Nggak. Gadis berkacamata itu memang sangat bersahaja.
      “Hmm… belajarnya nanti aja deh Qis.” Ucap Maria dengan nada merengek.
      “Bukannya kita kesini untuk belajar kelompok?”                    
      “Iya sih Qis, tapi ayolah kita have fun dulu.”
      “Sebentar lagi kita ujian lo, kalian mau nggak lulus hah?” semuanya bungkam tak ada yang berani memjawab Balqis. Balqis orangnya mudah tersinggung jadi para sohibnya mengerti saat dimana Balqis benar-benar tak ingin dibantah. Tapi itu bukan berarti Balqis sedang marah tapi dia berusaha tegas mengingatkan pentingnya masa depan.
      “Qis minum dulu nih.” Ucap Maria menawarkan segelas es teh manis, yang membuat tenggorokan tergoda dengan aliran es batu yang meleleh didinding gelas. Apalagi cuacanya panas seperti ini.
      “Makasih Mar.” ujar Balqis melengkungkan bibirnya sampai terlihat struktur giginya yang rapi. Memang dari dulu dia bercita-cita jadi dokter.

Balqis mengambil buku-bukunya yang berserakan dilantai rumah Maria dan memasukkannya kedalam tas ranselnya. Matahari mulai berada diatas kepala dan panas mulai mengelupas kulit subhanallah ucap Balqis dalam hati.
      “Aku pulang duluan ya. Udah azan soalnya nih.” Izin Balqis kepada sahabat-sahabatnya.
      “Baiklah Qis. Hati-hati di jalan ya.” Ujar teman-temannya serentak. Jarak rumah Balqis dengan Maria tidak begitu jauh kira-kira 200 meter, Balqis memang sudah terbiasa jalan kaki. Balqis menyusuri jalanan yang membara itu, wajahnya selalu menghadap depan seolah-olah di sisi kiri dan kanannya ada malaikat yang menjaga dan melindunginya karena setiap langkahnya disertai dengan zikir yang menyebut 99 nama-nama Allah SWT. “Brak”. Balqis jatuh tersungkur. Kakinya berdarah tangannya juga lecet. Dilihatnya seorang lelaki jangkung dan tidak terlalu kurus mengulurkan tangan untuk membantunya. Balqis menolak uluran tangan lelaki itu.
      “Maaf… kamu tidak apa-apa?” Tanya lelaki itu. Dengan tergopoh-gopoh Balqis berusaha berdiri sendiri.
      “Tidak apa-apa.” Ucap Balqis sambil mengepuk-epukan roknya yang sedikit kotor oleh tanah.
      “Lain kali hati-hati ya jalannya.”
      “Iya terimaksih, sudah berusaha membantu.”
      “Sama-sama. Aku Habib.” Ucap lelaki itu menyodorkan tangannya. Balqis merapatkan tangannya didepan dada dan sedikit membungkuk dan berlalu pergi meninggalkan tempat Habib berdiri. Balqis tak pernah ingin melakukan sentuhan langsung dengan lelaki bukan muhrim. Bahkan bersalaman sekalipun.
                                  ***
Sepertinya Umi sudah menyiapkan makanan untuk Balqis, nasi goreng. Tentu saja. Balqis sangat bahagia tinggal bersama Uminya. Sejak Abinya meninggal 4 tahun lalu Umi menjadi tulang punggung keluarga. Balqis sempat ingin berhenti sekolah untuk mencari pekerjaan tapi Uminya melarang.
     “Ayo sarapan dulu Nak.”
     “Makasih Umi,” Ucap Balqis. Balqis menyantap makan paginya dengan lahap, Balqis memandang wajah Uminya yang penuh pengharapan akan masa depannya. Balqis mengakhiri sarapannya dengan meneguk segelas air putih.
     “Balqis berangkat sekolah dulu ya Umi.” Balqis menyentuh jari-jemari Uminya lalu menciumnya.
     “Iya Nak, kamu rajin-rajin belajar ya…” senyum sumringah terpancar dari wajah mereka berdua.
      “Assalamualaiqum.”
      “Wa’alaiqumussalam.”
Lautan putih abu-abu memasuki gedung sekolah, mereka berjalan bersama-sama. Diantara sahabat-sahabatnya Balqis adalah yang paling mencolok, buku tak pernah jauh matanya. Usia semuda ini Balqis sudah minus dua. Itulah yang membuatnya beda. Gadis berkacamata.
      “Eh liat siapa yang datang tuh.” Ucap Maria sambil merapikan kerudung sekolahnya karena seseorang memasuki gerbang sekolah. Balqis masih asik membaca buku di kursi panjang depan kelas.
      “Itu kan…, Habib.” Ujar Mika kegirangan. Balqis tercengang dia mulai melihat langkah demi langkah. Bukannya dia lelaki di jalan kemarin ucap Balqis membatin.
      “Dia anak baru itu ya?” Tanya Balqis.
      “Iya Qis.” Jawab Maria.
      “Oh,” ucap Balqis mengangguk cuek dan kembali membaca bukunya.
      “Eh dia kesini, menghampiri kita.” Ujar Vita dengan rona wajah kegirangan.
      “Dia pasti mau menghampiri gue, mungkin ingin kekantin sama gue lagi.” sahut Mika. Dengan berkacak pinggang Habib berjalan menuju mereka.
      “Hai Habib…” ucap mereka serentak kecuali Balqis.
      “Hai…” mata Habib tertuju pada gadis berkacamata, Balqis. “Hai…” sapa Habib sekali lagi pada Balqis. Teman-teman Balqis terkesiap melihat Habib yang malah memerhatikan Balqis yang jelas-jelas tak menyapanya.
      “Oh, Hai…”
      “Ternyata kamu sekolah disini juga.”
      “Oh iya.”
      “Siapa namamu?”
      “Balqis,”
      “Senang bertemu lagi denganmu. Aku masuk kelas dulu ya.” Balqis hanya mengangguk dan menyunggingkan sedikit senyuman. Bayangan Habib sirna sudah.
      “Qis, dimana kamu bertemu dengannya?” ucap Vita. Disambut dengan anggukan temannya yang lain.
      “Di jalan dekat rumah Maria kemarin.”
      “Itu artinya kamu akan ikut bersaing dengan kita.” Balqis menyeringai kecil.
      “Nggaklah.” Ucap Balqis sambil berdiri dan melangkah keruang kelas.
                                       ***
Diujung timur terpancar sinar matahari yang masih malu-malu untuk keluar. Balqis masih bersiap-siap sedangkan Uminya menyiapkan sarapan seperti biasa. Balqis keluar kamar dan langsung melempar senyum pada Uminya.
      “Makasih ya Umi…” ujar Balqis. Uminya hanya mengangguk dan menyuruhnya makan dengan cepat. “Balqis berangkat sekolah dulu ya Umi, assalamualaiqum.” Ujar Balqis selesai menyantap makan paginya.
      “Wa’alaiqumussalam…” seperti biasa Balqis selalu mencium tangan Uminya dan keluar pintu rumah dengan untaian do’a. Setibanya disekolah Balqis menyapa sahabat-sahabatnya namun raut wajah mereka berbeda pagi itu. Cemberut dan…, tak ada yang mau bicara. Balqis berusaha bertanya pada mereka “Kenapa?” berulang-ulang kali namun tak ada yang mau bicara. Akhirnya Maria mengeluarkan suara. “Lihat sana papan tulis!” Balqis segera masuk dan membaca tulisan yang ada disana.
      “Kalian salah paham, aku nggak pernah berniat seperti itu.” Ucap Balqis dengan nada haru.
      “Katanya lo nggak mau saingan sama kita, tapi kenapa sekarang lo malah…,” sahut Vita.
      “Bukan… bukan begitu, aku memang nggak pernah simpati sama dia.” Kata Balqis dengan berlinang air mata.
      “Ahhh… munafik?!” ucap Vita. Mereka lalu pergi meninggalkan Balqis dalam keadaan bersimpuh dan menangis. Balqis melihat seseorang berdiri di ambang pintu. Balqis langsung menghampirinya.
      “Kenapa kamu melakukan ini padaku, Habib?” ucap Balqis dengan isak tangis yang tak bisa dibendung.
      “Apa maksudmu?”
      “Sahabat-sahabatku suka sama kamu kenapa kamu menulis seperti itu?” Tanya Balqis menunjuk ke papan tulis.
      “Maafkan aku… aku hanya tak ingin membohongi diriku sendiri, sejak awal aku sudah simpati sama kamu.”
      “Aku mencintai sahabat-sahabatku lebih dari apapun, walaupun sekarang kamu meletakkan pisau dilehermu. Aku akan tetap memilih mereka.”
      “Maaf Qis, kamu memang baik, ini yang membuatku tertarik padamu.” Ucap Habib dan berbalik arah untuk mengambil penghapus. Habib lalu menghapus tulisan yang merupakan pernyataan cintanya. Balqis kembali ke mejanya, menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya yang tersedu-sedan tak bisa dibendung lagi aliran air mata begitu deras keluar dari mata indahnya.
      “Balqis, maafin kita.” Terdengar suara yang menyentuh telinga Balqis. Balqis mendongak.
      “Kalian…”
      “Maafin kita ya Qis, kita memang salah. Nggak seharusnya kita memperlakukanmu seperti ini.” Ucap Vita. Disambut dengan anggukan Maria, Mika dan Sania.
      “Maafin aku juga ya.”
      “Kamu nggak salah Qis, kita yang nggak sadar betapa tulusnya kamu mencintai sahabat-sahabatmu. Nggak seharusnya kita begini gara-gara lelaki.” Ucap Sania. Mereka akhirnya berpelukan. Balqis melihat Habib berdiri didepan pintu kelas melempar senyum sumringah. Terimakasih Habib kau telah menyadarkan sahabat-sahabatku dan mengembalikan mereka padaku ujar Balqis dalam hati.

Selasa, 25 Desember 2012

Ruangan Rahasia


Pada suatu malam bulan purnama malam yang dalam sejarah adalah malam yang menyeramkan, menurut kepercayaan keluargaku akan ada banyak makhluk aneh yang akan berkeliaran kesana kemari. Ayahku berpesan padaku supaya jangan pernah keluar kamar ketika bulan purnama. Aku tak tahu tepatnya saat itu sepertinya sudah tengah malam aku tak bisa menahan diri saat perutku begitu sakitnya ingin buang air. Malam itu aku benar-benar melanggar perintah Ayah. Aku berjalan perlahan sembari memegang perutku. Kutilik seluruh sudut ruangan aku terus saja berjalan. Akhirnya aku sampai di kamar kecil. “Lucia” jantungku mulai terasa tak berdetak dan celana tidurku mulai basah tubuhku bergetar keringatku mulai bercucuran. “Lucia” suara itu memanggilku lagi. “Siapa kamu?” aku tak tahu sumber suara itu bahkan aku tak bisa berlari dari tempat itu kakiku terasa kaku pikiranku hambar. “Lucia” keringatku bercucuran dan mataku perlahan mulai terbuka lebar.
      “Lucia, kamu mimpi buruk lagi?”
      “Ayah,”
      “Kamu tidur lagi ya sayang, itu hanya mimpi.”
Aku mengingat kejadian semalam, aku rasa itu bukan mimpi atau ilusi semuanya terasa nyata. Itu seperti benar-benar terjadi.
      “Luci, sarapan dulu sayang.”
      “Ya, Ma.”
      “Kamu kenapa? Mimpi buruk lagi.”
      “Sepertinya bukan mimpi. Luci merasa yang terjadi semalam itu nyata.” Rona wajah mama mulai berubah, dia memandangku tajam dan nampaknya dia mengetahui sesuatu.
      “Oh ya, besok ‘kan kamu ulang tahun, pokoknya mama akan menyiapkan yang spesial buat kamu.” Aku semakin penasaran dengan ini apalagi mamaku nampaknya berusaha mengalihkan pembicaraan.
                                             ***
      Kucoba melakukan hal yang sama, waktu itu pukul 12 malam. Aku benar-benar memastikan aku tidak sedang bermimpi. Aku berjalan perlahan menyusuri sudut-sudut ruangan. Jantungku mulai berdegup kencang kakiku tertegun melihat dari sela pintu ruangan rahasia itu terbuka. Aku memberanikan diri mendekati ruangan itu aku berjalan perlahan sampai aku tiba di ambang pintu. Kubuka pintu itu dengan tangan yang bergetar hebat. Ruangan itu sangat gelap aku mencoba mencari sumber cahaya. “Darr…” aku ingin berteriak ketika suara pintu kamar itu tertutup dengan sendirinya tapi aku benar-benar ingin mengupas rasa penasaranku akhirnya aku menahan diri untuk tidak berteriak agar Ayah dan Mama tak mengetahui keberadaanku. Ketika aku sedang berjalan tiba-tiba lampu menyala begitu terang. Ruangan ini begitu terurus, rapi dan bersih. Semuanya terlihat indah. “Lucia” suara itu memanggil. Aku memberanikan diri berbalik.
      “Happy birthday Lucia…”  Ayah, Mama dan teman-temanku. Mereka berada disana. Nadiku hampir saja berhenti berdenyut.
      “Mama kok tahu Luci disini?”
      “Kamu kan anak mama, mama tahu sifat kamu. Kamu nggak akan berhenti mencari sampai rasa penasaranmu terpecahkan. Benar ‘kan?”
      “Lalu kenapa mama tak pernah ingin bercerita tentang ruangan yang kelihatannya biasa ini?”
      “Dulu ini adalah kamar nenekmu. Beliau berpesan agar mama mengunci ruangan ini sampai usiamu 16 tahun dan akan memberikan padamu tepat di hari ulang tahunmu sebagai hadiah darinya.”
      “Oh… begitu, nenek benar-benar sayang pada Luci.”
      “Tentu saja sayang.’’
Kami berpesta didalam ruangan itu.
      “Lucia.”
      “Jason, kamu disini juga?” Jason adalah pria yang selama ini aku taksir, pria yang membuatku selalu mematung ketika melihat wajah maskulinnya.
      “Hmm, Mamamu yang mengundangku.”
      “Oh begitu ya. Mamaku ada-ada saja ya bikin surprise menyeramkan kayak gini.”
      “Kreatif lagi.”
      “Tapi ini membuat nyawaku seakan melayang meninggalkan ragaku.”
      “Hahaha. Kamu ada-ada saja.”
Percakapanku denga Jason terhenti ketika seberkas cahaya menyilaukan mata kami, terlihat bayang-bayang seorang wanita tua bertopeng. Aku mendekatinya. “Lucia umurmu sudah 16 tahun. Berhati-hatilah. Di bulan purnama tepat jam 12 malam kamu akan mengetahui segalanya. Tetaplah diruangan ini.” Bayang-bayang wanita tua itu menghilang.
                                     ***
       Malam bulan purnama, aku mengingat kata-kata wanita tua itu. Aku berbaring di “Ruangan rahasia” yang sekarag menjadi kamar baruku. Aku menunggu jam 12 malam. ”Tok…tok…tok…” suara ketukan pintu terdengar jelas. “Ini Mama dan Ayah sayang.” Mereka memasuki kamarku.
      “Kamu kelihatan sangat ketakutan, kenapa?”
      “Lucia ingat perkataan wanita tua itu Ma.”
      “Sayang, apapun yang terjadi kita harus tetap berada diruangan ini. Umurmu sekarang menentukan antara hidup dan mati kita.”
      “Maksud mama?”
      “Di ruangan inilah kita bisa berlindung dari serangan luar.”
Kulihat jarum jam mengarah pada angka 12. Kurasa ini akan terpecahkan. Tubuhku merasakan hal yang janggal, gatal sekali. Rasanya aku seperti orang gila yang sedang meronta-ronta dari kekangan dokter. Tubuhku terasa panas. Wajahku mulai memerah. Kupandangi kuku-kukuku menjadi panjang seketika. Bulu-bulu menjalar cepat ditubuhku. Tubuhku terhempas. Ketika aku membuka mata dari sebuah kesakitan nyata aku melihat dua ekor rubah didepanku dan aku melihat diriku, aku memandang diriku yang ternyata sama dengan mereka.
      “Ini Ayah dan Mama sayang, tetaplah disini.” Kalimat itu   terlontar lepas dari kedua ekor rubah itu.

Kamis, 20 Desember 2012

Tragedi Cinta Pada Pandangan Pertama


Fira adalah gadis berusia 19 tahun yang tinggal bersama ayah, ibu dan adik perempuannya. Suatu hari Fira ditemukan pingsan dikamarnya oleh ibunya. Ibunya sangat khawatir kemudian beliau memanggil-manggil ayah Fira dan mereka segera membawa Fira kerumah sakit. Setelah menunggu sekitar 20 menit akhirnya dokter yang memeriksa Fira keluar.
      “Bagaimana keadaan Fira Dok?” Tanya ibu Fira.
      “Maaf Bu, Fira terkena penyakit Tipes dan harus dirawat inap selama 2 minggu.” Saat itu ibu, ayah dan adiknya Fira sangat bersedih hati namun mereka yakin setelah 2 minggu Fira akan sembuh.
      Seminggu berlalu, dokter Kevin; dokter yang merawat Fira mengatakan bahwa Fira sudah sedikit membaik tapi tiba-tiba saja Fira kembali mengeluh akan sakitnya. Dengan segera ibunya memanggilkan dokter.
      “Maaf Bu, bisa tolong keluar sebentar saya mau periksa Fira dulu.” Kata dokter Kevin. Ibunya mengangguk-ngangguk pelan. Dokter Kevin terus memeriksa Fira tapi dia tak menemukan kejanggalan dalam tubuh Fira, dia rasa Fira baik-baik saja. Saat dokter Kevin akan keluar memberitahu ibunya, Fira tiba-tiba menarik tangan dokter tampan berusia sekitar 27 tahun itu.
      “Tunggu Dok!” panggil Fira. Dokter Kevin segera berbalik arah.
      “Ada apa Fira? Kamu baik-baik saja kok.”
      “Fira bosan dikamar terus, Fira mau ketaman.”
      “Baiklah Fira saya panggilkan ibumu dulu ya…”
      “Fira maunya sama dokter.” Dokter Kevin terkejut sejenak. Tapi karena Fira adalah pasiennya dia harus menurutinya karena itu sudah termasuk dalam kebijakan rumah sakit untuk melayani pasien dengan baik. Sejak seminggu yang lalu atau tepatnya sejak pertama kali Fira bertemu dengan dokter Kevin, Fira sudah merasa jatuh hati padanya. Entah kenapa Fira benar-benar percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Sampai-sampai dia tetap ingin tinggal dirumah sakit.
      “Kita sudah sampai.” Ucap dokter Kevin sesampainya di taman RS. Fira yang duduk dikursi rodapun tersenyum senang. Fira memandangi wajah dokter Kevin yang sangat tampan, menurutnya. Saat itu dokter Kevin duduk di bangku taman berhadapan dengan Fira yang duduk diatas kursi roda.
      “Dokter…”
      “Iya…”
      “Kenapa dokter mau menemani Fira?”
      “Itu memang sudah kewajiban saya sebagai dokter.”
      “Kalau begitu apapun yang Fira mau dokter akan penuhi.” Fira tersenyum lebar.
      “Hmm… tentu saja. Memangnya Fira mau apa?”
      “Fira mau bunga itu.” Fira menunjuk kearah tumbuhan bunga mawar disekitar taman. Dokter Kevin segera memetik bunga itu.
      “Ini.” Kata dokter Kevin memberikan mawar merah itu.
      “Makasih Dok...” ucap Fira sambil mencium setangkai bunga mawar itu. Mereka melanjutkan berbincang-bincang dan bercanda-canda.
      “Ternyata kamu lucu juga ya…” ucap dokter Kevin sembari tertawa lepas.
      “Hahaha. Iya dong. Fira boleh nanya sesuatu nggak Dok?”
      “Apa Fir?”
      “Apa dokter sudah menikah?”
      “Hmmm… sudah apa belum ya?” kata dokter Kevin sambil mendongak pura-pura berpikir.
      “Ah dokter, Fira serius nii...”
      “Hmm… Fira suka ya sama dokter, ayo ngaku!”
      “Hah… enak aja dokter kali yang suka sama Fira. Hahaha.” Merekapun tertawa lepas. Sebenarnya Fira memiliki perasaan sama dokter Kevin tapi dia rasa ini bukan saatnya mengatakan yang sebenarnya.
      Dua minggu berlalu, Fira sudah diizinkan pulang. Dia benar-benar sudah sembuh total. Ibunya sedang merapikan pakaiannya.
      “Bu…” panggil Fira dari atas tempat tidur.
      “Ada apa Nak?” kata ibu Fira mendekati anaknya.
      “Sebelum pulang Fira ingin ketemu sama dokter Kevin.”
      “Memangnya ada urusan apa?” Fira berpikir sejenak.
      “Fira hanya ingin mengucapkan terimakasih secara langsung.”
      “Baiklah, ibu panggilkan dulu ya.” Firapun sangat bahagia saat itu. Pintu ruangannya mulai terbuka, dokter Kevin berjalan perlahan menghampirinya. Fira memperhatikan rona wajah dokter Kevin dan mendengar derap langkah kakinya. Dia benar-benar seperti malaikat ucap Fira membatin.
      “Kau baik-baik saja?”
      “Iya Dok, Fira cuma ingin mengucapkan terimakasih, selama ini sudah merawat Fira dengan baik.” Ucap Fira gugup.
      “Oh ya sama-sama Fira… itu memang sudah menjadi kewajiban saya.”
      “Sebelum Fira pulang, boleh nggak Fira nanya sesuatu?”
      “Ya, Apa?”
      “Apakah dokter suka coklat?”
      “Hmm… suka.Waktu kecil ayah dokter sering membelikan dokter coklat.” Jawab dokter Kevin. “Memangnya kenapa?” lanjutnya.
      “Nggak ada Dok. Cuma nanya.”
      “Ah… kamu ini.” Ucapnya sambil mengacak-ngacak rambut Fira. Saat itu Fira benar-benar berbunga-bunga, senyum manis dokter Kevin tak akan pernah bisa terlupakan. “Kalau begitu dokter pergi dulu ya?” lanjutnya.
      “Tunggu Dok!” dengan spontan Fira memegang tangan dokter Kevin. “Sekali lagi terimakasih.” Ucap Fira. Dokter Kevin hanya mengangguk dan berlalu pergi.
      Seminggu berlalu, bayang-bayang dokter Kevin tak pernah bisa hilang dari benak Fira. Sampai akhirnya dia memutuskan pergi kerumah sakit untuk bertemu dengan dokter Kevin.
      “Dokter ada pasien di ruangan kamboja nomor 34.” Ucap seorang suster kepada dokter Kevin. Dokter Kevin hanya mengangguk dan berlari menuju ruangan itu. Ternyata yang berbaring disana adalah Fira.
      “Fira? Kamu sakit lagi? mana ibumu?” Tanya dokter Kevin sambil memeriksa keadaan Fira.
      “Dokter apa kabar?”
      “Seperti yang Fira lihat.”
      “Dokter kelihatan sangat bahagia.” Fira mengira Dokter Kevin bahagia karena bertemu lagi dengannya. Fira merasa dokter Kevin punya rasa yang sama.
      “Tidak ada masalah denganmu. Kamu baik-baik saja Fir.” Ucap dokter Kevin dan tak menghiraukan pernyataan Fira.
      “Dokter memang pintar, Fira memang nggak sakit.”
      “Lalu untuk apa Fira kemari?”
      “Fira cuma mau ngasih ini.” Ujar Fira sambil menyodorkan kotak berbentuk persegi.
      “Apa ini?”
      “Buka saja!”
      “Coklat?” ucap dokter Kevin setelah membuka kotak itu.
      “Dokter suka?”
      “Hmm… sudah lama nggak makan coklat. Terimakasih Fir.”
Seminggu berlalu, Fira kembali mengunjungi rumah sakit karena sudah merasa rindu dengan sosok dokter Kevin. Seperti biasa Fira membawakan sekotak coklat untuknya dan tentunya berpura-pura sakit. Fira berbaring di sebuah ruangan tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka itu pasti dokter Kevin ucapnya dalam hati. Fira membalikkan badannya.
      “Kamu siapa? Mana dokter Kevin?”
      “Untuk sementara ini saya yang akan menanganimu.” Ucap seorang dokter perempuan.
      “Mana dokter Kevin?”
      “Kamu Fira ‘kan?” Fira hanya mengangguk pelan.“Kamu belum mendengar tentang dokter Kevin.”
      “Memangnya dia kenapa?”
      “Dokter Kevin cuti sejak 4 hari yang lalu untuk melangsungkan pernikahannya.” Fira mulai terkejut dan seketika mengeluarkan air mata, dia lalu berlari meninggalkan tempat itu dan coklat yang harusnya di berikan ke dokter Kevin dia buang begitu saja kelantai di depan dokter Maya; dokter yang memeriksanya tadi.
      Kejadian itu membuat ibu Fira juga ikut bersedih karena selama dua hari ini Fira tak pernah mau makan malah dia mengunci diri dikamarnya. Hari ketiga setelah kejadian itu Fira benar-benar tak ingin keluar kamar. Karena khawatir akhirnya ayah Fira mendobrak pintu kamarnya. Ibu Fira langsung shock menemukan Fira dalam keadaan pingsan di atas lantai. Ibu Fira melihat dinding kamar Fira yang nyaris seluruhnya tertulis nama “Dokter Kevin”. Dengan langkah yang tergopoh-gopoh ibu dan ayah Fira segera membawa Fira kerumah sakit. Setelah menunggu beberapa menit mata Fira perlahan-lahan terbuka.
      “Kamu sudah siuman sayang?” kata ibu Fira.
      “Dokter Kevin mana Bu?” Tanya Fira. Air matanya mulai membasahi pipi lembutnya.
      “Kamu makan dulu ya sayang.” Ibu Fira ikut menangis, karena terharu melihat anaknya terbaring tak berdaya.
       “Nggak mau, Fira mau ketemu dokter Kevin.” Pekik Fira sambil menepis tangan ibunya yang akan menyuapinya. Fira mencoba bangkit dari pembaringannya untuk mencari dokter Kevin namun tiba-tiba dia mengeluh kesakitan di bagian perutnya. Kata dokter dia mag. Akhirnya Fira mengurungkan niatnya untuk mencarinya. Pintu ruangan Fira terbuka ternyata itu dokter Kevin, rona wajah Fira mulai terlihat berbeda dia memberikan senyumnya kepada dokter Kevin. Dokter Kevin mendekatinya.
      “Kenapa Fira nggak mau makan?” Tanya dokter Kevin. Fira termenung sejenak lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Fira makan ya.” Lanjut dokter Kevin.
      “Tidak.”
      “Dokter suapin deh…” Fira mengangguk pelan. Ibu dan ayahnya senang sekali melihat anaknya akhirnya mau makan walaupun hanya melihat dari luar kaca.
      “Dokter, Fira mau ketaman.” Kata Fira ditengah-tengah makan siangnya. Dokter Kevin mengiyakan permintaan Fira dan mereka duduk berhadapan seperti beberapa minggu yang lalu.
      “Fira suka ditaman ini?”
      “Iya Dok, karena disini Fira bertemu pria yang membuat mimpi-mimpi Fira buyar.”
      “Beruntung sekali pria itu. Memangnya siapa dia?” Fira terdiam sejenak.
      “Pria itu… pria itu adalah pria yang merawatku ketika Fira terkena tipes. Dia juga suka makan coklat sama kayak Fira.” Mendengar pernyataan Fira dokter Kevin tak tahu harus menjawab apa. “Kenapa diam Dok?” seketika Fira menangis. Dokter Kevin masih tak menjawab, dia mengambil sesuatu dari saku baju dokternya dan itu adalah selembar foto.
      “Fira, ini adalah foto adik saya. Sifatnya hampir sama denganmu. 2 tahun yang lalu Tuhan mengambilnya. Itulah yang membuat saya rindu sosoknya dan sekarang saya menemukannya di dalam dirimu.” Tangis Fira semakin menjadi-jadi. Dia tak menyangka selama ini dokter Kevin hanya menganggapnya sebagai reinkarnasi dari adiknya yang sudah meninggal. Dokter Kevin pergi keruangannya dan dengan segera kembali lagi. Ternyata dokter Kevin mengambil kotak coklat yang dibuang Fira tiga hari yang lalu.
      “Dimana kau menemukannya?”
      “Dokter Maya yang memungutnya, katanya ini untukku.”
      “Tidak, itu bukan untukmu. Sini kembalikan.” Dokter Kevin mengembalikan kotak coklat itu. Fira membaca tulisan diluar kotak “For Dokter Kevin”.
      “Sekarang apakah coklat itu bukan untukku?” Fira tak tahu harus menjawab apa, dokter Kevin lalu mengambil coklat itu kembali. Fira dituntun kembali kekamarnya tapi seperti biasa dia tak mengizinkan dokter Kevin langsung keluar ruangannya.
      “Dokter…” dokter Kevin memandangnya. “Apakah dokter benar-benar sudah menikah?” Tanya Fira dengan hati yang siap-siap tersakiti. Dokter Kevin termangu sebentar.
      “Fira istirahat ya, besok kita bicara lagi.”
      “Jawab pertanyaan Fira dulu. Berita itu tidak benar ‘kan Dok?” buliran air mata mulai keluar dari mata Fira. Dengan berat hati dokter Kevinpun menjawab.
      “Tidak Fir, itu semua benar.” Isak tangis mulai terdengar, Fira memalingkan muka dan menyuruh dokter Kevin cepat-cepat keluar dari ruangannya. Diluar ruangan langkah dokter Kevin dihentikan oleh ibu Fira.
      “Dokter, selama 2 hari Fira tak mau makan dan sekarang mag, dokter tau kenapa, itu karena memikirkan dokter. Dia melukis nama dokter di dinding kamarnya. Ini pertama kali saya melihat anak saya seperti ini.” Ucap ibu Fira dengan tangisan yang tersedu-sedan.
      “Maafkan saya Bu.”
      “Tolong bantu saya.”
      “Apa yang harus saya lakukan?”
      “Jaga dia baik-baik, jangan lukai perasaannya. Saya mohon.”
      “Tapi Bu, saya sudah menikah. Saya sudah menganggap Fira seperti adik saya sendiri.” Ibu Fira lalu berlutut dihadapan dokter Kevin.
      “Saya mohon…”
      “Bangunlah Bu, saya tak pantas diperlakukan seperti ini. Saya yakin suatu saat Fira akan melupakan segalanya dan menemukan seseorang yang lebih pantas untuknya.” Ibu Fira lalu terdiam dan menunduk tak tahu harus bicara apa lagi. Dokter Kevin berlalu meninggalkan rumah sakit.
      Dua hari berlalu, sekarang Fira sudah boleh pulang dari rumah sakit. Ibunya sangat bersyukur mendengar itu. Sesampai dirumah Fira langsung istirahat. Malamnya ibu Fira menemui Fira dikamarnya untuk menyuapinya makan.
      “Fira kamu makan ya Nak.” Wajah Fira kelihatan berbeda selama 2 hari ini dia selalu melamun dan tatapannya selalu kosong. Tanpa menunggu jawaban dari Fira ibunya langsung menyuapinya walaupun mulut Fira hanya terbuka sedikit, yang penting Fira mau makan ucap ibunya dalam hati.
      Dua minggu berlalu. Kesedihan dan kepiluan kembali menyelimuti keluarga Fira lantaran Fira harus di bawa kerumah sakit jiwa. Fira sering bicara sendiri, melamun dan kadang meminta ibunya membelikan coklat yang banyak, katanya dia akan berikan pada dokter Kevin. Semua keluarga Fira turut prihatin. Ibu Fira tak henti-hentinya menangis setiap malam, beliau tak tahu harus berbuat apa. Ibu, ayah serta adiknya Fira sangat resah melihat Fira setiap hari harus disuntikkan obat penenang.
      “Ibu, Fira mau coklat.” Kata Fira setelah membuka mata dari tidurnya.
      “Iya Fir, besok ibu belikan yang banyak ya sayang.”
      “Beneran Bu, Fira mau ngasih pacar Fira. Dokter Kevin, ingat ‘kan Bu?” Ibu Fira lalu meneteskan air mata terdalamnya.
      “Iya, ingat kok sayang.”
      “Hahaha… besok Fira akan menikah Bu. Ibu sudah mempersiapkannya ‘kan Bu?” ibu Fira hanya mengangguk. “Tapi Bu, dokter Kevin sudah punya istri.” Fira meraung dan mengamuk-ngamuk, tertawa-tawa dan dia juga mendorong ibunya. Akhirnya dokterpun datang dan kembali menyuntikkan obat penenang. Ibu Fira kembali meratapi nasib anaknya yang begitu tragis.
      Keesokan harinya, ibu dan ayah Fira dikejutkan dengan informasi dari salah seorang suster kalau Fira menghilang. Dengan rasa miris yang membara, mereka menghubungi dokter dan menyuruh mencarinya ke seluruh sudut ruangan. “Fira…Fira kamu dimana sayang?” panggil ibu Fira. Namun tak ada jawaban. Setelah sekitar sejam pencarian, seorang suster menemukan Fira dalam keadaan tak bernyawa di toilet. Ibu dan ayah Fira lalu menangis histeris. Fira kehabisan darah. Ibu Fira memeluk jasad Fira yang sudah terbujur kaku dan pucat. Disamping jasad Fira, ibunya menemukan pisau, entah dimana Fira mendapatkannya. Ibu Fira mengambil segayung air lalu membasuh lengan Fira yang penuh darah. Dilengannya terukir jelas nama KEVIN. “Firaaa… kenapa kau melakukan ini Nak?” ibu Fira berteriak histeris. “Maaf Bu, Fira nggak bisa melupakannya…” terdengar suara dari balik jendela.