“Eh… kalian tau nggak cowok super
keren yang ada disekolah kita? Murid baru itu lho…” ujar Sania.
“Jelas dong, malah dia jadi rebutan.” Sahut Maria.
“Dalam waktu seminggu atau dua minggu dia pasti jadi milik gue.” Ucap
Vita dengan penuh rasa PD.
“Kalian jangan ngarep dulu deh, kemarin gue makan dikantin semeja sama
dia.” Sergah Mika dengan wajah penuh pengharapan ingin dipuji.
“WHAT? Jangan GR deh lo…” gumam Vita.
“Sudahlah, bagaimana kalau kita bersaing secara sehat dan adil. Setuju?”
ucap Maria.
“SETUJU.” Teriak mereka serentak sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Qis, lo nggak ikutan sama kita?” Tanya Maria sebagai tuan rumah. Iya,
Balqis satu-satunya gadis paling pendiam diantara mereka. Mereka berlima sudah
berteman sejak SMP, mereka sulit sekali terpisahkan walaupun mereka memiliki
sifat dan sikap yang perbedaannya sangat menonjol. Balqis adalah gadis alim
berjilbab, lemah lembut dan intropert. Vita gadis keras kepala tapi memiliki
rasa solid tinggi. Maria gadis yang suka sama cowok-cowok baru disekolah. Mika
gadis yang memiliki tingkat ke-PD-an yang terlalu muluk. Sania gadis yang nggak
suka ketinggalan zaman pokoknya pengen selalu up to date.
“Ah… lanjutin deh.” Jawab Balqis dari balik buku paket Biologi yang ia
baca. Balqis memang tidak suka membuang-buang waktu apalagi membicarakan cowok.
Nggak. Gadis berkacamata itu memang sangat bersahaja.
“Hmm… belajarnya nanti aja deh Qis.” Ucap Maria dengan nada merengek.
“Bukannya kita kesini untuk belajar
kelompok?”
“Iya sih Qis, tapi ayolah kita have fun dulu.”
“Sebentar lagi kita ujian lo, kalian mau nggak lulus hah?” semuanya
bungkam tak ada yang berani memjawab Balqis. Balqis orangnya mudah tersinggung
jadi para sohibnya mengerti saat dimana Balqis benar-benar tak ingin dibantah.
Tapi itu bukan berarti Balqis sedang marah tapi dia berusaha tegas mengingatkan
pentingnya masa depan.
“Qis minum dulu nih.” Ucap Maria menawarkan segelas es teh manis, yang
membuat tenggorokan tergoda dengan aliran es batu yang meleleh didinding gelas.
Apalagi cuacanya panas seperti ini.
“Makasih Mar.” ujar Balqis melengkungkan bibirnya sampai terlihat
struktur giginya yang rapi. Memang dari dulu dia bercita-cita jadi dokter.
Balqis mengambil buku-bukunya yang
berserakan dilantai rumah Maria dan memasukkannya kedalam tas ranselnya.
Matahari mulai berada diatas kepala dan panas mulai mengelupas kulit subhanallah
ucap Balqis dalam hati.
“Aku pulang duluan ya. Udah azan soalnya nih.” Izin Balqis kepada sahabat-sahabatnya.
“Baiklah Qis. Hati-hati di jalan ya.” Ujar teman-temannya serentak.
Jarak rumah Balqis dengan Maria tidak begitu jauh kira-kira 200 meter, Balqis
memang sudah terbiasa jalan kaki. Balqis menyusuri jalanan yang membara itu,
wajahnya selalu menghadap depan seolah-olah di sisi kiri dan kanannya ada
malaikat yang menjaga dan melindunginya karena setiap langkahnya disertai
dengan zikir yang menyebut 99 nama-nama Allah SWT. “Brak”. Balqis jatuh
tersungkur. Kakinya berdarah tangannya juga lecet. Dilihatnya seorang lelaki
jangkung dan tidak terlalu kurus mengulurkan tangan untuk membantunya. Balqis
menolak uluran tangan lelaki itu.
“Maaf… kamu tidak apa-apa?” Tanya lelaki itu. Dengan tergopoh-gopoh
Balqis berusaha berdiri sendiri.
“Tidak apa-apa.” Ucap Balqis sambil mengepuk-epukan roknya yang sedikit
kotor oleh tanah.
“Lain kali hati-hati ya jalannya.”
“Iya terimaksih, sudah berusaha membantu.”
“Sama-sama. Aku Habib.” Ucap lelaki itu menyodorkan tangannya. Balqis
merapatkan tangannya didepan dada dan sedikit membungkuk dan berlalu pergi
meninggalkan tempat Habib berdiri. Balqis tak pernah ingin melakukan sentuhan
langsung dengan lelaki bukan muhrim. Bahkan bersalaman sekalipun.
***
Sepertinya Umi sudah menyiapkan
makanan untuk Balqis, nasi goreng. Tentu saja. Balqis sangat bahagia tinggal
bersama Uminya. Sejak Abinya meninggal 4 tahun lalu Umi menjadi tulang punggung
keluarga. Balqis sempat ingin berhenti sekolah untuk mencari pekerjaan tapi
Uminya melarang.
“Ayo sarapan dulu Nak.”
“Makasih
Umi,” Ucap Balqis. Balqis menyantap makan paginya dengan lahap, Balqis memandang
wajah Uminya yang penuh pengharapan akan masa depannya. Balqis mengakhiri
sarapannya dengan meneguk segelas air putih.
“Balqis berangkat sekolah dulu ya
Umi.” Balqis menyentuh jari-jemari Uminya lalu menciumnya.
“Iya Nak, kamu rajin-rajin
belajar ya…” senyum sumringah terpancar dari wajah mereka berdua.
“Assalamualaiqum.”
“Wa’alaiqumussalam.”
Lautan putih abu-abu memasuki gedung
sekolah, mereka berjalan bersama-sama. Diantara sahabat-sahabatnya Balqis
adalah yang paling mencolok, buku tak pernah jauh matanya. Usia semuda ini
Balqis sudah minus dua. Itulah yang membuatnya beda. Gadis berkacamata.
“Eh liat siapa yang datang tuh.” Ucap Maria sambil merapikan kerudung
sekolahnya karena seseorang memasuki gerbang sekolah. Balqis masih asik membaca
buku di kursi panjang depan kelas.
“Itu kan…, Habib.” Ujar Mika kegirangan. Balqis tercengang dia mulai
melihat langkah demi langkah. Bukannya dia lelaki di jalan kemarin ucap
Balqis membatin.
“Dia anak baru itu ya?” Tanya Balqis.
“Iya Qis.” Jawab Maria.
“Oh,” ucap Balqis mengangguk cuek dan kembali membaca bukunya.
“Eh dia kesini, menghampiri kita.” Ujar Vita dengan rona wajah
kegirangan.
“Dia pasti mau menghampiri gue, mungkin ingin kekantin sama gue lagi.”
sahut Mika. Dengan berkacak pinggang Habib berjalan menuju mereka.
“Hai Habib…” ucap mereka serentak kecuali Balqis.
“Hai…” mata Habib tertuju pada gadis berkacamata, Balqis. “Hai…” sapa
Habib sekali lagi pada Balqis. Teman-teman Balqis terkesiap melihat Habib yang
malah memerhatikan Balqis yang jelas-jelas tak menyapanya.
“Oh, Hai…”
“Ternyata kamu sekolah disini juga.”
“Oh iya.”
“Siapa namamu?”
“Balqis,”
“Senang bertemu lagi denganmu. Aku masuk kelas dulu ya.” Balqis hanya
mengangguk dan menyunggingkan sedikit senyuman. Bayangan Habib sirna sudah.
“Qis, dimana kamu bertemu dengannya?” ucap Vita. Disambut dengan
anggukan temannya yang lain.
“Di jalan dekat rumah Maria kemarin.”
“Itu artinya kamu akan ikut bersaing dengan kita.” Balqis menyeringai
kecil.
“Nggaklah.” Ucap Balqis sambil berdiri dan melangkah keruang kelas.
***
Diujung timur terpancar sinar
matahari yang masih malu-malu untuk keluar. Balqis masih bersiap-siap sedangkan
Uminya menyiapkan sarapan seperti biasa. Balqis keluar kamar dan langsung
melempar senyum pada Uminya.
“Makasih ya Umi…” ujar Balqis. Uminya hanya mengangguk dan menyuruhnya
makan dengan cepat. “Balqis berangkat sekolah dulu ya Umi, assalamualaiqum.”
Ujar Balqis selesai menyantap makan paginya.
“Wa’alaiqumussalam…” seperti biasa Balqis selalu mencium tangan Uminya
dan keluar pintu rumah dengan untaian do’a. Setibanya disekolah Balqis menyapa
sahabat-sahabatnya namun raut wajah mereka berbeda pagi itu. Cemberut dan…, tak
ada yang mau bicara. Balqis berusaha bertanya pada mereka “Kenapa?”
berulang-ulang kali namun tak ada yang mau bicara. Akhirnya Maria mengeluarkan
suara. “Lihat sana papan tulis!” Balqis segera masuk dan membaca tulisan yang
ada disana.
“Kalian salah paham, aku nggak pernah berniat seperti itu.” Ucap Balqis
dengan nada haru.
“Katanya lo nggak mau saingan sama kita, tapi kenapa sekarang lo
malah…,” sahut Vita.
“Bukan… bukan begitu, aku memang nggak pernah simpati sama dia.” Kata
Balqis dengan berlinang air mata.
“Ahhh… munafik?!” ucap Vita. Mereka lalu pergi meninggalkan Balqis dalam
keadaan bersimpuh dan menangis. Balqis melihat seseorang berdiri di ambang
pintu. Balqis langsung menghampirinya.
“Kenapa kamu melakukan ini
padaku, Habib?” ucap Balqis dengan isak tangis yang tak bisa dibendung.
“Apa maksudmu?”
“Sahabat-sahabatku suka sama kamu kenapa kamu menulis seperti itu?”
Tanya Balqis menunjuk ke papan tulis.
“Maafkan aku… aku hanya tak ingin membohongi diriku sendiri, sejak awal
aku sudah simpati sama kamu.”
“Aku mencintai sahabat-sahabatku lebih dari apapun, walaupun sekarang
kamu meletakkan pisau dilehermu. Aku akan tetap memilih mereka.”
“Maaf Qis, kamu memang baik, ini yang membuatku tertarik padamu.” Ucap
Habib dan berbalik arah untuk mengambil penghapus. Habib lalu menghapus tulisan
yang merupakan pernyataan cintanya. Balqis kembali ke mejanya, menutup muka
dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya yang tersedu-sedan tak bisa dibendung
lagi aliran air mata begitu deras keluar dari mata indahnya.
“Balqis, maafin kita.” Terdengar suara yang menyentuh telinga Balqis.
Balqis mendongak.
“Kalian…”
“Maafin kita ya Qis, kita memang salah. Nggak seharusnya kita
memperlakukanmu seperti ini.” Ucap Vita. Disambut dengan anggukan Maria, Mika
dan Sania.
“Maafin aku juga ya.”
“Kamu nggak salah Qis, kita yang nggak sadar betapa tulusnya kamu
mencintai sahabat-sahabatmu. Nggak seharusnya kita begini gara-gara lelaki.”
Ucap Sania. Mereka akhirnya berpelukan. Balqis melihat Habib berdiri didepan
pintu kelas melempar senyum sumringah. Terimakasih Habib kau telah
menyadarkan sahabat-sahabatku dan mengembalikan mereka padaku ujar Balqis
dalam hati.