Source: http://www.amronbadriza.com/2012/10/cara-membuat-anti-copy-paste-di-blog.html#ixzz2FTRb0UOK
SILAHKAN DI BACA JANGAN JADI PLAGIAT OKE :) SILAHKAN DI SHARE LINKNYA :)

Kamis, 31 Januari 2013

Apa dan Siapa yang SALAH?


Kata orang jatuh cinta itu tidak pernah salah tapi kita sebagai manusia atau subjek sering mengartikan cinta sebagai objek yang identik dengan hasrat. Sekarang aku bingung bagaimana cara merealisasikan rasa ini, rasa yang sedang kualami sekarang. Disisi yang satu aku sungguh merasa salah, ingin sekali mematikannya, tapi disisi lain aku ingin sekali mengikat status dengannya. Apa cinta ini salah ketika harus mengorbankan hati orang lain untuk mendapat balasan? Apa aku salah mencintai seseorang yang terang-terang bukan milikku? Apa aku harus mengorbankan hati wanitanya demi mendapatkannya?
Sejak pertama aku melihatnya aku merasa dia adalah apa yang aku inginkan selama ini, aku seperti terbang memandang senyumnya. Kemudian aku bertanya pada diriku sendiri “Apa aku salah mengaguminya?”.
 Aku sering sekali memujinya didepanmu, tapi sekalipun kamu tak pernah menaruh curiga padaku. Bodohkah aku menyingkirkan orang yang bahkan tak pernah berpikir negative tentangku? Tidak. Lalu mau aku kemanakan hasrat ini sahabatku? Tepatnya cinta ini.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Kenapa dulu kau menciptakan pertemuan antara aku dengannya? Apa karena aku sahabatmu hah? Aku tidaklah pantas kau anggap sahabat, aku egois dan selalu ingin diprioritaskan.
Sahabatku, apa dan siapa yang salah sekarang? Kamukah yang salah telah mempertemukan aku dengannya ataukah aku yang telah berani mencintai kekasihmu tanpa sengaja?

Sabtu, 29 Desember 2012

Ketulusan Hati Balqis

 

       “Eh… kalian tau nggak cowok super keren yang ada disekolah kita? Murid baru itu lho…” ujar Sania.
      “Jelas dong, malah dia jadi rebutan.” Sahut Maria.
      “Dalam waktu seminggu atau dua minggu dia pasti jadi milik gue.” Ucap Vita dengan penuh rasa PD.
      “Kalian jangan ngarep dulu deh, kemarin gue makan dikantin semeja sama dia.” Sergah Mika dengan wajah penuh pengharapan ingin dipuji.
      “WHAT? Jangan GR deh lo…” gumam Vita.
      “Sudahlah, bagaimana kalau kita bersaing secara sehat dan adil. Setuju?” ucap Maria.
      “SETUJU.” Teriak mereka serentak sambil tertawa terkekeh-kekeh.
      “Qis, lo nggak ikutan sama kita?” Tanya Maria sebagai tuan rumah. Iya, Balqis satu-satunya gadis paling pendiam diantara mereka. Mereka berlima sudah berteman sejak SMP, mereka sulit sekali terpisahkan walaupun mereka memiliki sifat dan sikap yang perbedaannya sangat menonjol. Balqis adalah gadis alim berjilbab, lemah lembut dan intropert. Vita gadis keras kepala tapi memiliki rasa solid tinggi. Maria gadis yang suka sama cowok-cowok baru disekolah. Mika gadis yang memiliki tingkat ke-PD-an yang terlalu muluk. Sania gadis yang nggak suka ketinggalan zaman pokoknya pengen selalu up to date.
      “Ah… lanjutin deh.” Jawab Balqis dari balik buku paket Biologi yang ia baca. Balqis memang tidak suka membuang-buang waktu apalagi membicarakan cowok. Nggak. Gadis berkacamata itu memang sangat bersahaja.
      “Hmm… belajarnya nanti aja deh Qis.” Ucap Maria dengan nada merengek.
      “Bukannya kita kesini untuk belajar kelompok?”                    
      “Iya sih Qis, tapi ayolah kita have fun dulu.”
      “Sebentar lagi kita ujian lo, kalian mau nggak lulus hah?” semuanya bungkam tak ada yang berani memjawab Balqis. Balqis orangnya mudah tersinggung jadi para sohibnya mengerti saat dimana Balqis benar-benar tak ingin dibantah. Tapi itu bukan berarti Balqis sedang marah tapi dia berusaha tegas mengingatkan pentingnya masa depan.
      “Qis minum dulu nih.” Ucap Maria menawarkan segelas es teh manis, yang membuat tenggorokan tergoda dengan aliran es batu yang meleleh didinding gelas. Apalagi cuacanya panas seperti ini.
      “Makasih Mar.” ujar Balqis melengkungkan bibirnya sampai terlihat struktur giginya yang rapi. Memang dari dulu dia bercita-cita jadi dokter.

Balqis mengambil buku-bukunya yang berserakan dilantai rumah Maria dan memasukkannya kedalam tas ranselnya. Matahari mulai berada diatas kepala dan panas mulai mengelupas kulit subhanallah ucap Balqis dalam hati.
      “Aku pulang duluan ya. Udah azan soalnya nih.” Izin Balqis kepada sahabat-sahabatnya.
      “Baiklah Qis. Hati-hati di jalan ya.” Ujar teman-temannya serentak. Jarak rumah Balqis dengan Maria tidak begitu jauh kira-kira 200 meter, Balqis memang sudah terbiasa jalan kaki. Balqis menyusuri jalanan yang membara itu, wajahnya selalu menghadap depan seolah-olah di sisi kiri dan kanannya ada malaikat yang menjaga dan melindunginya karena setiap langkahnya disertai dengan zikir yang menyebut 99 nama-nama Allah SWT. “Brak”. Balqis jatuh tersungkur. Kakinya berdarah tangannya juga lecet. Dilihatnya seorang lelaki jangkung dan tidak terlalu kurus mengulurkan tangan untuk membantunya. Balqis menolak uluran tangan lelaki itu.
      “Maaf… kamu tidak apa-apa?” Tanya lelaki itu. Dengan tergopoh-gopoh Balqis berusaha berdiri sendiri.
      “Tidak apa-apa.” Ucap Balqis sambil mengepuk-epukan roknya yang sedikit kotor oleh tanah.
      “Lain kali hati-hati ya jalannya.”
      “Iya terimaksih, sudah berusaha membantu.”
      “Sama-sama. Aku Habib.” Ucap lelaki itu menyodorkan tangannya. Balqis merapatkan tangannya didepan dada dan sedikit membungkuk dan berlalu pergi meninggalkan tempat Habib berdiri. Balqis tak pernah ingin melakukan sentuhan langsung dengan lelaki bukan muhrim. Bahkan bersalaman sekalipun.
                                  ***
Sepertinya Umi sudah menyiapkan makanan untuk Balqis, nasi goreng. Tentu saja. Balqis sangat bahagia tinggal bersama Uminya. Sejak Abinya meninggal 4 tahun lalu Umi menjadi tulang punggung keluarga. Balqis sempat ingin berhenti sekolah untuk mencari pekerjaan tapi Uminya melarang.
     “Ayo sarapan dulu Nak.”
     “Makasih Umi,” Ucap Balqis. Balqis menyantap makan paginya dengan lahap, Balqis memandang wajah Uminya yang penuh pengharapan akan masa depannya. Balqis mengakhiri sarapannya dengan meneguk segelas air putih.
     “Balqis berangkat sekolah dulu ya Umi.” Balqis menyentuh jari-jemari Uminya lalu menciumnya.
     “Iya Nak, kamu rajin-rajin belajar ya…” senyum sumringah terpancar dari wajah mereka berdua.
      “Assalamualaiqum.”
      “Wa’alaiqumussalam.”
Lautan putih abu-abu memasuki gedung sekolah, mereka berjalan bersama-sama. Diantara sahabat-sahabatnya Balqis adalah yang paling mencolok, buku tak pernah jauh matanya. Usia semuda ini Balqis sudah minus dua. Itulah yang membuatnya beda. Gadis berkacamata.
      “Eh liat siapa yang datang tuh.” Ucap Maria sambil merapikan kerudung sekolahnya karena seseorang memasuki gerbang sekolah. Balqis masih asik membaca buku di kursi panjang depan kelas.
      “Itu kan…, Habib.” Ujar Mika kegirangan. Balqis tercengang dia mulai melihat langkah demi langkah. Bukannya dia lelaki di jalan kemarin ucap Balqis membatin.
      “Dia anak baru itu ya?” Tanya Balqis.
      “Iya Qis.” Jawab Maria.
      “Oh,” ucap Balqis mengangguk cuek dan kembali membaca bukunya.
      “Eh dia kesini, menghampiri kita.” Ujar Vita dengan rona wajah kegirangan.
      “Dia pasti mau menghampiri gue, mungkin ingin kekantin sama gue lagi.” sahut Mika. Dengan berkacak pinggang Habib berjalan menuju mereka.
      “Hai Habib…” ucap mereka serentak kecuali Balqis.
      “Hai…” mata Habib tertuju pada gadis berkacamata, Balqis. “Hai…” sapa Habib sekali lagi pada Balqis. Teman-teman Balqis terkesiap melihat Habib yang malah memerhatikan Balqis yang jelas-jelas tak menyapanya.
      “Oh, Hai…”
      “Ternyata kamu sekolah disini juga.”
      “Oh iya.”
      “Siapa namamu?”
      “Balqis,”
      “Senang bertemu lagi denganmu. Aku masuk kelas dulu ya.” Balqis hanya mengangguk dan menyunggingkan sedikit senyuman. Bayangan Habib sirna sudah.
      “Qis, dimana kamu bertemu dengannya?” ucap Vita. Disambut dengan anggukan temannya yang lain.
      “Di jalan dekat rumah Maria kemarin.”
      “Itu artinya kamu akan ikut bersaing dengan kita.” Balqis menyeringai kecil.
      “Nggaklah.” Ucap Balqis sambil berdiri dan melangkah keruang kelas.
                                       ***
Diujung timur terpancar sinar matahari yang masih malu-malu untuk keluar. Balqis masih bersiap-siap sedangkan Uminya menyiapkan sarapan seperti biasa. Balqis keluar kamar dan langsung melempar senyum pada Uminya.
      “Makasih ya Umi…” ujar Balqis. Uminya hanya mengangguk dan menyuruhnya makan dengan cepat. “Balqis berangkat sekolah dulu ya Umi, assalamualaiqum.” Ujar Balqis selesai menyantap makan paginya.
      “Wa’alaiqumussalam…” seperti biasa Balqis selalu mencium tangan Uminya dan keluar pintu rumah dengan untaian do’a. Setibanya disekolah Balqis menyapa sahabat-sahabatnya namun raut wajah mereka berbeda pagi itu. Cemberut dan…, tak ada yang mau bicara. Balqis berusaha bertanya pada mereka “Kenapa?” berulang-ulang kali namun tak ada yang mau bicara. Akhirnya Maria mengeluarkan suara. “Lihat sana papan tulis!” Balqis segera masuk dan membaca tulisan yang ada disana.
      “Kalian salah paham, aku nggak pernah berniat seperti itu.” Ucap Balqis dengan nada haru.
      “Katanya lo nggak mau saingan sama kita, tapi kenapa sekarang lo malah…,” sahut Vita.
      “Bukan… bukan begitu, aku memang nggak pernah simpati sama dia.” Kata Balqis dengan berlinang air mata.
      “Ahhh… munafik?!” ucap Vita. Mereka lalu pergi meninggalkan Balqis dalam keadaan bersimpuh dan menangis. Balqis melihat seseorang berdiri di ambang pintu. Balqis langsung menghampirinya.
      “Kenapa kamu melakukan ini padaku, Habib?” ucap Balqis dengan isak tangis yang tak bisa dibendung.
      “Apa maksudmu?”
      “Sahabat-sahabatku suka sama kamu kenapa kamu menulis seperti itu?” Tanya Balqis menunjuk ke papan tulis.
      “Maafkan aku… aku hanya tak ingin membohongi diriku sendiri, sejak awal aku sudah simpati sama kamu.”
      “Aku mencintai sahabat-sahabatku lebih dari apapun, walaupun sekarang kamu meletakkan pisau dilehermu. Aku akan tetap memilih mereka.”
      “Maaf Qis, kamu memang baik, ini yang membuatku tertarik padamu.” Ucap Habib dan berbalik arah untuk mengambil penghapus. Habib lalu menghapus tulisan yang merupakan pernyataan cintanya. Balqis kembali ke mejanya, menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya yang tersedu-sedan tak bisa dibendung lagi aliran air mata begitu deras keluar dari mata indahnya.
      “Balqis, maafin kita.” Terdengar suara yang menyentuh telinga Balqis. Balqis mendongak.
      “Kalian…”
      “Maafin kita ya Qis, kita memang salah. Nggak seharusnya kita memperlakukanmu seperti ini.” Ucap Vita. Disambut dengan anggukan Maria, Mika dan Sania.
      “Maafin aku juga ya.”
      “Kamu nggak salah Qis, kita yang nggak sadar betapa tulusnya kamu mencintai sahabat-sahabatmu. Nggak seharusnya kita begini gara-gara lelaki.” Ucap Sania. Mereka akhirnya berpelukan. Balqis melihat Habib berdiri didepan pintu kelas melempar senyum sumringah. Terimakasih Habib kau telah menyadarkan sahabat-sahabatku dan mengembalikan mereka padaku ujar Balqis dalam hati.